Haikal bimbang ketika melihat sepasang mata berwarna langka itu berembun dan menatap penuh harap serta terluka. Bibir merah muda itu terus merapalkan permohonan untuk didengar. Telinganya menangkap getaran pada setiap kata yang terucap. Kulit lengannya merespons keringat dingin dari dua telapak tangan yang gemetar itu.
"Saya tidak punya pilihan, Valerie." Ia mengalihkan tatapan jauh ke pohon palem di parkiran. Dirinya tidak tahan untuk lebih lama lagi menatap perempuan tersebut.
Valerie tidak segera mundur. Dirinya tidak boleh menyerah begitu saja setelah tadi mengejar dan berteriak memanggil Haikal. Membuat orang-orang di dalam sana menatap tanya ke arah mereka berdua sekaligus menghakimi secara sepihak seolah-olah Haikal adalah dalangnya. Ia terus mendongak dan kini setetes cairan bening lolos dari kedua sudut matanya. "Sa-saya bekerja di sana karena Kakak. Kakak saya bekerja di sana," ungkapnya.
Haikal menarik lengan atas Valerie untuk sedikit minggir karena posisi berdiri mereka hampir di tengah jalan sehingga mengganggu keluar-masuk orang. Sesaat kemudian, ia meneliti ke dalam iris mata Valerie untuk mencari kesungguhan. Ia menemukannya, tetapi ada yang mengganjal.
"Bukannya kamu pernah bilang kalau kakakmu bekerja di Pekanbaru?" Haikal ingat cerita Valerie saat itu.
Kedua tangan Valerie menjauh dari lengan Haikal dengan cepat. Ia jongkok dengan kedua tangan terlipat di atas lutut. Dahinya menempel pada lengan untuk menyembunyikan wajah sembap. Ia terpaksa berbohong dan kota tersebut lolos dari bibir ketika tempat lahir sahabatnya melintas di benak.
Haikal menoleh gusar ke kanan-kiri karena beberapa orang memperhatikan. Mungkin, di benak mereka adalah ia seorang laki-laki jahat yang tega membuat perempuan menangis secara terang-terangan---di depan umum. Ia lantas menunduk dan memperhatikan punggung bergetar itu. Telinganya mendengar jelas isakan yang entah kenapa membuat hatinya pilu. Tanpa pikir panjang lagi, ia menarik Valerie untuk berdiri.
"Apa kamu tidak malu menangis seperti ini?" bisik Haikal ketika tubuh itu belum berdiri sempurna.
"Chef, saya mohon ...." Suara Valerie serak.
Haikal menghela napas lelah, lalu berkata, "Baiklah! Tapi saya butuh pejelasan lebih dan sebenar-benarnya."
Di balik mata berair itu, ada binar harapan yang terpancar. Valerie mengangkat kepala dan menangkup hidung merah serta mulut. "Terima kasih, Chef."
Haikal melihat jam di pergelangan kiri yang menunjukkan pukul 18.20 WIB, lalu kembali pada Valerie. "Kita lanjutkan setelah salat Magrib."
Valerie mengangguk dan tersenyum lega, lalu mengusap jejak air mata. Mereka berdua lantas berjalan ke sisi kanan bangunan sebelum parkiran. Sekitar 100 meter dari bagian depan restoran terdapat musala.
Sekitar 15 menit kemudian, mereka berdua kembali ke restoran. Namun, tidak masuk. Mereka hanya sampai di teras restoran, menempati tempat duduk yang memang tersedia di bagian luar ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasteless Proposal
ChickLit® Shortlist Winner AIFIL 2023, reading list @WattpadChicklitID __________*___________*____________ Valerie mewujudkan mimpi menjadi chef, tetapi kejadian naas menimpanya dua tahun lalu. Dia kehilangan indra perasa sehingga terpaksa berhenti dari pr...