Bab 15 ǁ Menukar Rahasia dengan Kejujuran

14.3K 1.4K 24
                                    

"Bukannya pulang, malah ngajak ke sini." Seorang perempuan berkaus putih dengan luaran blazer hijau lumut menggumam.

Telinga Haikal merespons kalimat tersebut. Ingin menyahut, tetapi sudah lelah. Tadi ketika jam pulang kerja berakhir, mereka sempat berdebat selama kurang lebih 15 menit. Ia yang ingin segera membereskan masalah Valerie pun meminta waktu bicara di restoran biasa. Namun, bawahannya itu menolak dan menyuruhnya pulang saja untuk istirahat karena sedang diare. Berhubung ia mengungkit Valerie sebagai penyebabnya, maka berakhirlah dengan Valerie yang tidak jadi membantah.

"Beruntung hari ini tidak extend. Kalau iya, Chef bisa pingsan." Valerie menyejajarkan langkah lebar Haikal menuju pintu masuk.

"Kamu sumpahin saya?" Haikal menoleh dan menatap selidik.

Valerie mendongak dan membalas tatapan tersebut. "Saya menyukurinya, Chef."

Laki-laki itu mendengkus karena jawaban Valerie cenderung terdengar ambigu di telinganya. Ia langsung berjalan ke kasir untuk memesan setelah menyuruh Valerie mencari tempat duduk. Jarum menit hampir menunjuk angka 11 ketika masuk ke antrean sepanjang lima orang. Ia memesan tiga cake dengan varian yang berbeda-beda.

Sekitar 10 menit kemudian, Haikal berjalan menuju meja yang terakhir mereka tempati. Memperlambat laju kaki, matanya tertuju pada perempuan yang kini tengah menarik kedua sudut bibir ke atas dan memperhatikan sekeliling. Ia dapat menangkap jelas aura bahagia Valerie dari radius beberapa meter seperti ini.

Begitu Haikal duduk di hadapan, bibir Valerie membentuk garis lurus. Sepasang mata jernihnya menatap laki-laki berwajah datar itu takut-takut. Nyalinya langsung menciut hanya dalam sepersekian detik.

"Chef, terima kasih karena tidak menceritakan kejadian kemarin," ucap Valerie tulus.

Kedua alis lebat Haikal terangkat. "Siapa bilang?"

Pucat sudah wajah Valerie detik itu juga. Jantungnya berdegup kencang. Bahkan ia sampai menahan napas ketika mendengarnya. Kelopak matanya terbuka lebar dan menatap Haikal dengan kecewa. Sementara itu, bibirnya membuka-tutup beberapa kali. Ia ingin menanyakan kebenaran, tetapi lidahnya kelu. Rasanya, ia ingin menangis sekarang juga.

"Saya memang belum buka mulut, tapi entah besok atau lusa." Haikal menambahkan dengan entengnya.

"Chef!" seru Valerie tanpa sadar. Ia merasa kesal dan kecewa di saat bersamaan.

Haikal sedikit melebarkan mata karena merasa dibentak, lalu mendesis kesal. Ketika mulutnya siap mengeluarkan ancaman, pesanan datang. Ia mengurungkan niat dan menyuruh Valerie menutup mata.

"Kenapa saya harus menutup mata?" Valerie mengedarkan pandangan pada hidangan yang sudah familier. Setelah cukup meneliti penampilannya, ia mengangkat wajah menatap tanya Haikal.

"Tutup mata saja!" Haikal mengulang perintah.

"Tapi untuk apa, Chef? Saya sudah tahu tiga cake ini." Lantas telunjuknya mengarah pada makanan tersebut satu per satu sesuai nama. "Ini red velvet cheese cake, banana cake, dan ... sebentar! Sssh, ini dari adonan chocolate cake, tapi—"

"Berisik!" Haikal memotong ucapan perempuan yang terlihat sedang berpikir keras untuk menebak filling. Ia sedikit memajukan kursi, lalu menegakkan posisi duduk.

"Chef?" desak Valerie setelah kerutan di dahinya pudar. Ia sungguh ingin tahu.

Desisan disertai tatapan tajam Haikal membuat Valerie menutup mulut rapat. Ia kemudian menurut dengan bibir cemberut.

"Jangan mengintip!" Haikal memperigatkan. Ia menyendok potongan lemon chocolate cake, lalu berkata, "Ulurkan tanganmu dan makan ini!"

Valerie menurut. Jemarinya menggenggam begitu telapakan merespons benda dingin berbahan stainless steel. Ia mendekatkan benda itu perlahan ke hidung untuk tahu aroma yang ada pada cake. Perpaduan aroma segar lemon dan manisnya cokelat menggelitik indra penciuman, kemudian satu suapan mendarat di dalam mulutnya.

Tasteless ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang