Bab 58 ǁ Hari Terakhir dan Perpisahan

9.8K 912 24
                                    

"Dit, aku ingin kita berpisah. Maaf," ucap Noura lemah.

Rangkaian kata yang begitu tiba-tiba bagaikan petir menyambar jantung Radit. Dadanya langsung naik-turun karena kegeraman yang mendesak keluar. "Kamu melantur!"

Valerie sendiri mengais kesadaran yang mungkin saja belum menghampiri sepenuhnya. Ia melebarkan mata ke arah Noura, lalu berbalik pada Haikal. Apakah kalimat tadi hanya imanjinasinya?

Haikal tidak bereaksi apa-apa. Hanya ada wajah dingin dengan tatapan tidak terbaca yang tertuju pada dua orang di seberang meja.

Noura kembali membuka suara. "Dit, aku sengaja membantu Valerie bekerja di sini karena dia mau memperbaiki hubungan denganmu. Memangnya, mau sampai kapan kamu akan terus membenci adikmu? Valerie tidak salah apa pun. Meskipun saat itu bukan Valerie yang meminta jemput, misalkan saja kamu, aku yakin keadaan akan tetap sama karena memang Tuhan sudah menakdirkan kehidupan mereka di dunia sampai di situ."

Mata Radit berubah nyalang. "Stop bahas itu!"

"Aku harus membahasnya lebih dulu karena ini ada hubungannya dengan keputusanku supaya kamu tidak salah paham dan menyalahkan Valerie."

Radit terdiam.

Noura membuang wajah. Matanya memerah dan cairan bening dengan cepat merembes hingga pelupuk. Tenggorokannya tercekat, tetapi ada hal besar yang harus ia sampaikan segera. Sesaat kemudian, ia mendongak dan menelan saliva yang terasa lebih pahit berkali-kali lipat daripada jamu. "Dit, aku terkena penyakit leukemia myeloid[64]."

Laki-laki tersebut hanya mampu menganga. Ia menatap Noura tanpa kedip. Apa ia tidak salah dengar?

Bertahun-tahun mengisi hari bersamanya, tidak ada sedikit pun tanda atau rasa curiga akan kondisi Noura yang demikian. Ia yang bodoh ataukah Noura yang sungguh pintar menyimpanya hingga selalu telihat baik-baik saja?

"A-apa, Kak?" Adik Radit justru yang bereaksi lebih dulu. Ia menjauhkan pantat dari kursi. "Leukemia? Aku salah dengar, kan?"

Noura menoleh padanya, lalu menggeleng lemah.

"Kamu bisa sembuh dengan kemo, Ra. Itu bukan penghalang kita untuk menikah," sahut Radit setelah berhasil menguasai diri dan menjernihkan pikiran.

Noura menunduk sejenak sebelum kembali menatap dalam dan sendu sang kekasih. "Dit, itu jenis leukemia yang paling buruk dan sulit untuk diobati meskipun aku melakukan kemoterapi," ucapnya lirih.

"Ra, aku—"

Noura mengangkat tangan kiri. Memberi tanda Radit untuk merapatkan bibir dan mendengarkannya dulu.

"Radit, dengarkan aku baik-baik." Ia menggenggam kedua tangan laki-laki tersebut. "Dua bulan sebelum Valerie bekerja di sini, dokter mendiagnosis penyakitku sudah akut. Waktuku tidak lama lagi, Dit. Dan berhubung aku memang ingin kamu memaafkan Valerie, ya ... meskipun itu sebenarnya bukan salah dia. Jadi, aku merencanakan ini semua. Aku ingin melihat kalian berdua baikan supaya aku bisa meninggal dengan tenang nantinya. Ini ... harapan terakhirku untukmu."

Wajah Radit kini bak manusia tanpa nyawa dan terduduk lemas di kursi. Tangannya yang terlepas dari genggaman Noura mengepal begitu erat di atas paha. Bahkan garis-garis di pungung tangannya sampai terlihat jelas. Dadanya bergemuruh menahan marah entah lebih pada apa atau siapa. Namun, juga bercampur sesak yang mendesak begitu kuat. Membuatnya merasa begitu tersiksa.

Noura maju selangkah dan memegang bahunya. "Dit ... kamu tidak patut menyalahkan Valerie. Dia tidak salah karena ini memang sudah menjadi takdir kedua orang tua kalian. Kalau kamu menyalahkan dan membenci Valerie atas kematian mereka, kamu sama halnya dengan menyalahkan dan membenciku. Aku bisa kamu benci karena menolak menikah denganmu akibat tidak bisa menjaga badan hingga terkena penyakit mengerikan seperti ini dan sekarat. Tidak ada bedanya, kan?"

Tasteless ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang