Bab 37 ǁ Pekerjaan yang Dipertaruhkan

10.3K 1K 23
                                    

"Val?" Raut cemas terlukis jelas di wajah oval Gita malam ini. Persis seperti rasa seorang ibu pada anaknya.

Perempuan berkemeja biru polos lengan pendek itu hanya menggumam. Tatapannya tidak lepas dari layar datar sejak 3 menit lalu setelah menceritakan ucapan Haikal dan Adnan yang mengganggu pikiran.

Mereka tengah duduk di kursi teras belakang dekat kolam renang. Gita memutar kursi ke kiri supaya menghadap Valerie. Ia ingin berkata serius tentang hal yang mengusik pikirannya beberapa hari belakangan ini.

Mengembuskan napas, ia lalu berkata, "Kamu harus cepat memutuskan, Val ... mau mempertahankan kariermu di sana atau membuka komunikasi dengan Kak Radit."

Dua ibu jari Valerie berhenti menyentuh deretan kotak berisi huruf serta angka di layar. Ia menoleh dan menatap Gita dengan sorot mata tidak terbaca. "Aku tahu itu."

"Lalu?" desak Gita.

Valerie terlihat berpikir keras sesaat hingga kerutan di dahi yang tidak tertutup rambut—karena dijepit ke belakang—terlihat. Ia menurunkan kedua tangan dan berakhir di atas paha. Tatapan menerawangnya beralih lurus pada kumpulan air kolam setinggi 2 meteran. "Entahlah!"

"Val, kamu setidaknya harus memutuskan dua hal tadi sebelum aku lamaran. Aku tidak akan tenang meninggalkanmu sendirian meskipun cuma beberapa hari. Terlebih lagi Kak Radit kemarin sudah melihatmu dua kali bersama Chef Haikal dan juga sebelumnya malah memergokin kamu makan bersama tim," tutur Gita panjang lebar sampai akan kehabisan napas. "Apa kamu tidak berpikir itu bisa makin membuatnya curiga?"

Mimpi buruk Valerie masih menjadi pemicu ketakutan tersendiri untuk Gita. Nanti Valerie akan ditemani oleh ART selama dirinya pulang kampung. Meskipun demikian, bayangan tubuh Valerie yang gemetar dan kucuran keringat dingin ketika mata terpejam terus menghantui.

Valerie mengembuskan napas, menatap lemah Gita, lalu mengacak rambut frustrasi. Kedua kakinya yang menjuntai mengentak-entak lantai granit abu-abu. Sebenarnya, hati nurani Valerie sudah membisikkan jawaban meskipun berat.

"Val?"

Perempuan itu sedikit merenggangkan jemari kiri untuk merapikan rambut. Sesaat kemudian, ia meneguk es jeruk hingga tersisa setengah sebelum ikut mengubah arah hadap kursi ke Gita. Kedua kakinya naik membentuk sila. "Aku sebenarnya ... bingung."

Gita mendengkus pelan, lalu menyelipkan rambut menjuntainya ke belakang telinga. Melipat kedua tangan depan dada, ia berujar, "Sekarang begini saja. Coba jawab pertanyaanku, oke?"


Valerie mengangguk dengan sedikit cemberut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Valerie mengangguk dengan sedikit cemberut.

Gita meluruskan telunjuk ke arah atas. "Pertama, dari sekian lowongan kerja yang aku beri tahu waktu itu, kenapa kamu memilih jadi chef?"

"Gita, kamu sudah tahu jawabannya." Valerie setengah menatap kesal, kemudian dengan ekspresif dan sungguh-sungguh menambahkan dengan berujar, "Sejak kecelakaan itu, hidupku seperti tanpa arah. Aku seperti mati perlahan saat itu. Cita-cita chef yang selalu kuimpikan akan jadi kenyataan suatu hari, terkubur ketika tahu indra perasaku tidak berfungsi lagi. Dan seperti yang pernah Chef Haikal bilang kalau lidah itu senjatanya seorang chef."

Tasteless ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang