Bab 32 ǁ Si Gila Dito

11.1K 1K 64
                                    

"Chef menyukai Valerie, kan?" tembak Lutfi tanpa aba-aba di siang bolong.

Kata kedua yang sangat mengejutkan itu membuat Haikal tersedak makanan hingga matanya berair. Ia buru-buru menelan cairan putih bening untuk melancarkan jalannya tenggorokan. Butuh beberapa detik hingga dirinya benar-benar merasa lebih baik.

"Kak Lutfi!" gertak Valerie kesal ketika melihat akibat dari gurauan tersebut. Tangan kirinya menudingkan garpu sementara mata menghujamkan tatapan tajam. Ia lantas beralih pada Haikal yang baru saja mengusap sudut mata. "Chef tidak apa-apa?"

Haikal menggulirkan mata ke kanan—Lutfi—penuh peringatan. "I'm okay," sahutnya pada Valerie.

Si Biang Onar itu pun menyengir kuda dan berkata, "Sorry, Chef. Itu cuma penilaian saya karena Chef terlihat sangat peduli padanya."

Lutfi sangat jujur!

Haikal mendesis kesal. "Itu saya lakukan demi kelancaran pastry."

Setelah apa yang terjadi selama istirahat makan siang, atmosfer antara Adnan-Valerie-Haikal berubah. Adnan menjadi makin sulit bicara dengan Valerie di sela-sela jam kerja. Pasalnya, Haikal menjadi lebih intens memantau dan membantu pekerjaan Valerie. Hal tersebut akan berlangsung selama beberapa hari ke depan mengingat kondisi Valerie yang belum dapat bekerja secara maksimal kembali.

Perempuan tersebut dapat menghirup oksigen dengan bebas ketika jam extend pukul 19.00 WIB berakhir. Berdekatan dengan Haikal, terutama setelah ucapan tidak bermutu Lutfi tadi, nyatanya terus terngiang di kepalanya. Tentu itu membuat fokus kerjanya terganggu.

"Haaa!" Valerie menghela napas setelah tenggorokannya teraliri air putih. Ia meletakkan kembali botol minum di kulkas, lalu menutup pintu sembari bergumam, "Memangnya aku tidak bisa bekerja dengan baik, ha?! Yang sakit kan cuma tangan kanan, aku bukan orang cacat. Chef Haikal memang sangat memedulikan kitchen sampai-sampai mengawasiku seharian. Dengan keterbatasanku ini pun aku masih becus bekerja kok."

Tangan Valerie lari ke atas untuk melepas chef hat putih, kemudian balik badan ke arah Utara di mana pintu kitchen berada. Satu pekikan kecil lolos ketika melihat seorang laki-laki yang masih memakai chef hat hitam berdiri dan jarak mereka kurang dari 1 meter.

"Ohh, jadi begitu!" Haikal menatap dingin dan selidik.

Valerie tidak acuh. Ia melewati Haikal dan berjalan mendahului. "Saya kira Chef sudah keluar bersama yang lain."

Laki-laki itu mengeluarkan kedua tangan yang sejak beberapa detik lalu tersembunyi di saku celana sambil menguping deretan kata dari mulut Valerie. Ia menyusul Valerie hingga berada di satu langkah belakangnya.

"Saya baru dari office," ujarnya datar.

Valerie menahan mulut untuk tidak bersuara. Ia terus melangkah ke locker room dan Haikal mengekor.

"Apa memang begitu isi pikiranmu?" tanya Haikal ketika mereka belok untuk menaiki tangga.

"Apa—oh, itu tadi!" Valerie segera paham maksudnya. "Ya, iyalah! Chef sepertinya tidak sadar."

Haikal menoleh sekilas pada perempuan di sisi kirinya dan mengangkat kedua alis lebatnya. Ekspresi yang tidak dilihat oleh Valerie karena perempuan tersebut terus menatap lurus ke depan.

"Chef itu bawel berlebihan kalau sudah menyangkut masalah keselamatan di kitchen, kelancaran kerja, dan apa pun deh yang terkait kitchen! Kita lagi di luar saja Chef selalu membicarakan tentang kelancaran kitchen."

"Apa saya salah?" tanyanya masih dengan nada dan air muka datar.

Valerie berpikir 2 detik, lalu menjawab, "Tidak, tapi saya tidak akan mengacaukan kitchen cuma gara-gara begini." Ia mengentak pelan telapak tangannya yang terbalut perban.

Tasteless ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang