Bab 24 ǁ Menghadapi Kenyataan Masa Lalu

11.5K 1.1K 28
                                    

Valerie meremas jemari yang terasa berkeringat. Sekarang pukul 19.40 WIB, sudah sekitar 10 menit lalu dirinya berdiri di parkiran lantai 5. Tepat di samping mobil salah satu penanam saham di Hotel Dellacato yang memiliki hubungan darah dengannya. Ia menyandarkan pantat di sisi samping kap depan mobil. Makin lama menunggu orang tersebut membuat hormon adrenalinnya terus meningkat.

Beberapa kali terdengar langkah kaki mendekat. Dan setiap itu terjadi, Valerie mengangkat kepala dan menoleh. Berharap itu Radit. Ia ingin segera bertemu dan mengakhiri usahanya ini. Namun, laki-laki tersebut belum terlihat batang hidungnya hingga menit ke dua puluh berjalan.

Langkah seorang laki-laki berhenti ketika melihat gestur Valerie dari jarak 6 meter. Perempuan yang terperangkap di indra penglihatannya belum menyadari sampai hitungan kelima. Ia terus menatap dengan kilat kebencian.

Valerie mengangkat kepala dan mendapati Radit berdiri bergeming. Ia segera menjauhkan pantat dari mobil, lalu ikut membeku. Detik ini, dirinya sungguh bertatatapan dengan Radit.

Valerie menangkap aura kelam yang makin jelas seiring langkah tegas dan lebar Radit mendekat. Ia mengeratkan pegangan pada tali tas yang melintang di dada. Jantung memukul dada terlalu keras hingga membuatnya harus ekstra menguatkan diri untuk tetap berada di tempat.

"Anak pembawa sial! Apa yang kamu lakukan di sini, ha?!" Radit menatap dengan kilat api di kedua bola mata.

Valerie menelan saliva penuh perjuangan. Kedua tangannya yang gemetar perlahan melepas tali untuk memegang lengan Radit. Ada rindu yang meluap dari pancaran kedua netranya. Tiga tahun tidak bertemu, bukannya pelukan pelepas rindu yang didapat, melainkan umpatan tajam.

"Ka-Kakak ...." Suara Valerie hampir hilang tertelan rindu.

Radit menepis kasar tangan Valerie sebelum berhasil menyentuh kulitnya. Membuat tubuh gemetar itu hilang keseimbangan dan condong ke kanan hingga menghantam mobil. Ia melihat adiknya kesulitan berdiri, tetapi tidak ada niat seujung kuku pun untuk menolong.

Perempuan itu menyelipkan rambut di telinga kiri, lalu menoleh. Sepasang mata beningnya yang mulai berkaca-kaca menatap Radit kecewa. Ia mempertahankan posisi dan mengumpulkan kekuatan sebelum akhirnya berdiri. Dirinya tidak boleh lemah seperti tiga tahun lalu!

"Kak, ayo kita bicara!" Valerie kembali mendapatkan suaranya. Ia berkata lirih, tetapi tegas.

Radit langsung menilai bahwa adiknya cukup berani. Ia kembali menepis tangan yang dulu sering digenggamnya dengan penuh kasih sayang. Namun, kini ia tidak sudi lagi sekalipun hanya disentuh 1 sentimeter bagian kulitnya oleh orang yang membuat Purnama dan Tiara meninggal.

"Kak?"

Laki-laki beralis lebar dan lurus itu mundur selangkah. Ia menghindari kulit mereka bertemu. "Kamu masih punya muka untuk muncul di depanku, eh!" tudingnya nyalang.

Valerie maju selangkah, tetapi Radit menambah langkah mundur. Ia dapat dengan mudah membaca tatapan sosok yang dirindukannya itu. Dirinya seolah-olah adalah seonggok daging busuk yang mengganggu dan harus dijauhi.

"Kak, aku mohon ...." Valerie membalas dengan tatapan memelas.

Radit mengangkat jari telunjuk kuat-kuat hingga urat di lengan menonjol. Kemarahan dan kebencian kini benar-benar menguasai logika dan perasaan. "Seharusnya kamu tidak pernah dilahirkan, Pembawa Sial!"

Rangkaian kata tersebut bagaikan petir yang menyambar ubun-ubun dan menembus jantung Valerie. Wajah lelahnya memucat dengan bibir bergerak-gerak tanpa pola kata. Semua hal yang ada di pikiran seperti hangus olehnya. Valerie tidak ada daya untuk menyahut.

"Ini tidak akan terjadi kalau kamu tidak lahir, Valerie!"

Orang yang dituding tersebut segera menguasai diri. Ia mengeratkan kedua tangannya pada tali tas. Beberapa detik kemudian, ada pancaran tegas dari tatapannya pada Radit meskipun derai cairan bening mengiringi. "Apa Kakak pikir aku menginginkan Papa dan Mama meninggal? Apa Kakak pikir aku mau hidup seperti ini dan dibenci Kakak? Tidak, Kak! Aku tidak mau!" tembaknya lantang dan tidak memedulikan dua orang yang sedang melintas.

"Pada nyatanya, kamu menghancurkan segalanya, Valerie! Kamu dan keras kepalamu itu membuat mereka meninggal! Kamu juga membuat Sofia membatalkan pernikahan dan meninggalkanku!"

Valerie mengusap kasar hidung merah beringusnya menggunakan lengan blazer berwarna mustard yang melapisi kaus hijau pastel, kemudian maju satu langkah. Radit melakukan hal sama seperti tadi—mundur. Ia bergerak cepat meraih tangan besar kakaknya.

"Jangan berani-berani menyentuhku!" bentak Radit hingga urat di rahang dan garis lehernya terlihat jelas.

Valerie menatap terluka. Perlakuan Radit layaknya ribuan belati tajam yang menghujani setiap jengkal kulit, lalu menembus ke seluruh organ di dalam tubuh. Membuatnya mengalirkan darah tidak kasat mata luar-dalam.

"Ha, aku baru sadar!" Radit memamerkan senyum tersinis yang pernah Valerie lihat. Ia menggerak-gerakkan telunjuk di depan wajah adiknya seraya berkata, "Aku yakin. Aku yakin Tuhan mencabut indra perasamu untuk menebus dosa yang kamu lakukan pada mereka dan aku!"

Valerie terus mendongak dan mempertahankan tatapan. Ucapan itu menjelma menjadi pisau yang mengiris hati saat mendengarnya. Cairan bening makin deras mengaliri kedua pipi mulusnya. Ada marah yang bergejolak mendengar tuduhan seperti itu. Namun, ia tidak kuasa menyahut barang satu huruf pun.

"Percuma kamu menangis seperti ini," ejek Radit, lalu dengan murka kembali berkata, "Kenapa Tuhan tidak sekalian mencabut nyawamu saat itu, ha?! Itu akan lebih memudahkanku memaafkanmu."

Tidak! Valerie tidak tahan lagi.

Valerie menangis sejadi-jadinya. Setiap kata-kata Radit menyedot tenaga dengan cukup kuat dan membuat dadanya sangat sesak. Ia tidak sanggup lagi berdiri sehingga melipat kedua kaki untuk jongkok. Dirinya tidak menyangka Radit masih menyimpan kebencian begitu mendalam.

Sepasang kaki terbalut derby shoes hitam mengkilat itu bergerak menjauh. Valerie dengan gerakan cepat mencegah dengan cara melingkarkan jemari pada lengan kaki. Namun, dibalas dengan sebuah tendangan dan membuat pantatnya mendarat keras di lantai.

Radit tidak memedulikan tangisan pilu dan tatapan beberapa orang dari jarak jauh yang sempat melihat dan menatap ingin tahu. Ia segera memutari depan mobil untuk mengambil posisi kemudi, lalu melaju.

"Valerie?!"

Valerie tidak merespons seruan tersebut karena kalah dengan tangisan pilunya. Ia fokus mengikuti pergerakan mobil hitam itu menjauh lewat pandangan buram karena air mata.

 Ia fokus mengikuti pergerakan mobil hitam itu menjauh lewat pandangan buram karena air mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

________***_________

13.42 WIB, 12 Oktober 2023

Thanks for your apreciation,

Fiieureka

Tasteless ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang