Bukankah setiap masalah selalu sepaket dengan jalan keluar? Haikal yakin ada cara untuk menyelesaikan masalah tersebut meskipun mungkin membuat Valerie tidak dapat kembali ke kitchen.
Ya, Tuhan! Apa yang kupikirkan? Harusnya aku mencari jalan yang membuat Valerie bisa kembali bekerja! Haikal kesal sendiri.
Untuk sesaat, Haikal membuang pandangan ke sembarang arah. Raut wajahnya terlihat sedang berpikir keras. Kemudian, ia kembali menatap Valerie sambil bertanya, "Kamu lebih ingin kembali ke kitchen atau menyelesaikan masalahmu dengan Radit?"
Valerie bergeming di tempat dengan lalu lintas di otak yang crowded. "Saya tidak tahu. Itu pertanyaan sulit," ucapnya setelah 5 hitungan berlalu. Tatapan yang sempat kosong terisi oleh kecemasan. "Chef tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya akan memikirkan jalan keluar sampai masa cuti habis. Saya akan merasa makin bersalah kalau Chef terus membantu."
"Jalan keluar seperti apa?" Haikal kali ini setengah menyelidik. Ia memiliki firasat tidak mengenakkan.
Mulut Valerie bungkam sejenak. "Yang tidak merugikan Chef, teman-teman di pastry yang tahu kondisi saya, Chef Gauzan, dan orang lain meskipun itu berarti saya memang harus merelakan karier saya di kitchen," ucapnya kemudian.
Haikal tidak suka mendengarnya. Kerutan yang dalam tercipta di dahinya. "Valerie, mereka aman."
"Tapi Chef tidak aman." Valerie sedikit menaikkan volume, kemudian membuang wajah sejenak. "Saya benar-benar mau Chef bisa tetap bekerja dan tidak memedulikan saya. Setelah dua hari memikirkan hal ini, sepertinya saya sedikit menemukan jawaban. Saya tidak layak jadi chef, tapi memaksakan diri. Sekarang ... saya baru menyadari akibat dari keputusan itu. Saya hanya membuat kalian dalam masalah," tuturnya dengan suara yang jelas putus asa dan hampir menangis.
"Saya bisa bekerja di tempat lain," sahut Haikal enteng.
Valerie menatap kesal Haikal. "Iya. Tempat lain itu maksudnya adalah di luar negeri setelah Chef sekolah lagi nanti. Hal yang tidak mau Chef lakukan. Benar, kan?"
Haikal melebarkan mata. Sedikit raut tegang terpancar di wajahnya.
"Saya tahu dari Kak Noura." Valerie seakan-akan tahu isi pikiran laki-laki tersebut.
Haikal mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Matanya memberi pandangan lembut ke Valerie. Mendengar penuturan demikian, ia justru makin bertekad melindungi Valerie. Hatinya ikut sakit mengetahui kesulitan perempuan yang dicintainya itu.
"Apa kehilangan indra perasa adalah sebuah dosa?" gumam Haikal.
"Chef pernah bilang kalau lidah adalah senjata seorang chef. Bagaimana saya akan bisa bertahan di peperangan tanpa senjata itu?"
"Kamu selama ini melakukannya dengan baik, Valerie." Haikal berkata tulus.
"Itu karena ada kalian. Saya akan terbunuh kalau sendiri. Saya merasa bodoh dan menyesal berbuat ceroboh seperti ini," ujarnya dengan suara yang mulai tercekat.
"Kamu tidak bodoh. Kamu justru hebat, Valerie. Kamu tahu kekuranganmu, tapi tetap memiliki keinginan dan niat untuk membuktikan pada kami bahwa kamu mampu bekerja dengan baik, terutama di depan Radit. Itulah yang sebenarnya ingin kamu lakukan. Jangan kira selama ini saya tidak memperhatikanmu."
Valerie tidak sanggup lagi. Ia menelungkupkan kepalanya yang terasa berat di meja. Membuat rambut panjang tergerainya menjuntai di sisi kanan dan kiri. Dirinya merasa malu, marah, kecewa, dan kesal. Bukan pada Haikal ataupun Radit, melainkan diri sendiri.
Haikal menoleh ke kiri. Ia menghela napas panjang seraya memandang hujan yang mulai datang membawa tugas dari Tuhan untuk membantu kehidupan di bumi. Dirinya lantas memajukan badan untuk menepuk punggung bergetar itu. Isakan lirih yang lolos dari bibir Valerie makin tersamarkan oleh suara musik dan derasnya air di luar sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasteless Proposal
ChickLit® Shortlist Winner AIFIL 2023, reading list @WattpadChicklitID __________*___________*____________ Valerie mewujudkan mimpi menjadi chef, tetapi kejadian naas menimpanya dua tahun lalu. Dia kehilangan indra perasa sehingga terpaksa berhenti dari pr...