Bab 60 || Kado Berharga

12.2K 1K 61
                                    

"Kamu masih di Lombok?"

"Ya," jawab Radit singkat.

"Wah, betah juga ya! Pantas saja dari malam aku coba hubungi, tidak ada respons satu pun darimu. Awas saja kalau kamu sampai kesengsem dengan bule di sana karena tidak ada aku!"

Laki-laki bercelana pendek selutut itu tergelak. Ia tahu malam yang dimaksud adalah waktu Milan karena semalam—versi dirinya yang sedang di Lombok—mereka berdua baru bertukar kabar meskipun singkat. "Tenang saja, Sayang. Aku bisa menjaga diri. Lain kali kamu harus ikut ke sini," sahutnya sambil menahan senyum.

"Baru sekarang kamu merasa sepi, kan? Seandainya ada Valerie, dia bisa kamu ajak menggantikanku."

"Pikiranmu terlalu jauh, Sayang," keluhnya.

Noura tersenyum mendengar sahutan itu. "Oh, iya! Sudahkah kamu mendapat ilham dari Yang Maha Kuasa?" ledeknya. Setiap hari dirinya tidak pernah absen menanyakan perkembangan hubungan kekasihnya itu dengan Valerie. ia tidak peduli meskipun Radit jadi bosan karenanya.

Radit mendengkus dan menahan senyum miris. Kakinya terus mengayun di jalanan berpasir, meninggalkan jejak-jejak di sana. Sapaan ombak halus menjulur-julur di bibir Pantai Gili Trawangan dan sesekali mengenai kaki Radit. Ah, sebenarnya ia sengaja!

"Jangan berlama-lama di Lombok! Sebentar lagi Valerie ulang tahun. Yakin kamu tidak akan menemuinya?" Belum menjawab apa-apa, Radit sudah mendapat serangan kalimat provokatif dari perempuan yang sekarang sudah ada di Milan.

"Doa dan usahamu sepertinya akan berhasil. Hatiku mulai goyah, apalagi semalam Papa dan Mama datang ke mimpiku."

Terdengar pekikan dari seberang sana. "Kamu tidak bohong, kan?" Tidak ayal, serta merta senyum semringah terbit di bibir pucat Noura.

"Ya ... setelah sekian lama. Mungkin sudah ada dua tahun mereka tidak menemuiku."

"Itu artinya memang kamu harus secepatnya berbaikan dengan Valerie. Apa kata mereka?" tanya Noura penasaran.

Radit berhenti jalan dan mendongak, menatap sekilas langit oranye berpadu abu-abu yang menyentuh garis pantai di ujung sana. "Tidak ada yang mereka katakan, hanya melihatku dengan tatapan yang ... yah, penuh harap dan rindu."

Noura termenung sejenak. Ia dapat membayangkan bagaimana raut wajah kedua orang tua Radit. Dalam hati terdalam, dirinya memanjatkan doa semoga ini adalah pertanda pintu maaf untuk Valerie terbuka. Tanda hati Radit yang sekeras batu bisa terkikis, tergantikan dengan keikhlasan untuk menerima masa lalu dan memaafkan adiknya tanpa syarat.

"Iish, jangan menempeliku, Kal! Kamu mau bicara dengannya atau bagaimana?"

Dari seberang telepon, Radit mendengar jelas perkataan itu. Ia langsung tahu bahwa Haikal sedang menguping. Bukan pertama kalinya Haikal seperti itu. Sebagai orang yang sudah kenal Haikal bertahun-tahun, dirinya tahu bahwa adik dari Noura itu tengah penasaran dengan Valerie. Sejak menginjakkan kaki di kota yang terkenal sebagai salah satu kota pusat mode dunia itu, Haikal tidak pernah sekali pun memberi kabar pada Valerie. Ia mengetahui itu semua bukan dari Haikal, melainkan Noura.

"Ra, kututup teleponnya, ya? Aku lapar," pamit Radit seraya menjauh dari bibir pantai.

Setelah mendapat sahutan, Radit menekan tombol merah pada aplikasi WhatsAppnya. Kemudian, ia memasuki sebuah lokasi yang dipenuhi para pedagang makanan hasil laut. Dengan merogoh kocek seratus ribu, Radit sudah mendapatkan dua tusuk cumi-cumi bakar dan udang bakar berukuran cukup besar.

Ia mengisi salah satu kursi plastik kosong di stand yang memang disediakan untuk para pembeli. Sembari menikmati makan sorenya, ia memikirkan apa yang harus dilakukannya setelah kembali ke Jakarta. Penerbangannya ke Jakarta nanti malam, masih cukup waktu baginya mencarikan oleh-oleh untuk Valerie.

Tasteless ProposalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang