Adnan membenarkan posisi selempang tas untuk mendapatkan kenyamanan. Arah pandangnya pun sama seperti apa yang dilakukan Valerie. "Laki-laki itu ... aku tahu siapa. Dia adalah Radit Pranaja, salah satu pemilik Dellacato di sini."
Penuturan tersebut membuat kaki Valerie tidak meneruskan langkah. Ia pun menoleh dan mendongak untuk melemparkan tatapan tajam penuh selidik.
"Kenapa?" tanya Adnan begitu sadar akan sorot mata itu. "Kamu mengenalnya?" Dari reaksi Valerie, hati kecilnya mengatakan bahwa gadis tersebut mengenal Radit.
Valerie menarik Adnan untuk makin ke pinggir meskipun posisi berdiri mereka tidak membahayakan—ditabrak mobil yang lewat karena menghalangi jalan. Ia sedikit memutar badan hingga mereka berhadapan.
"Bagaimana Kakak bisa tahu?" tanyanya dengan kedua tangan mencengkeram tali sling bag putih. Pertanyaan itu tidak seharusnya ia lontakan. Wajar jika Adnan tahu karena sudah bekerja di Dellacato dalam hitungan tahun, tidak seperti dirinya.
"Aku mendengar dari orang-orang," jawab laki-laki berjaket hitam parasut itu lugas.
Detik selanjutnya, seperti ada sesuatu meneyadarkannya akan hal mencurigakan. "Val, bagaimana kamu langsung tahu itu benar?"
Valerie menggigit bibir bawah. Ia mempertimbangkan jawaban seperti apa yang akan dikatakan. Tatapannya pada Adnan masih bertahan.
"Kamu memang benar mengenalnya," celetuk Adnan karena Valerie masih mengunci bibir.
"Kak Adnan membuntutiku, ya?" tuding Valerie seraya mengarahkan telunjuk pada wajah laki-laki tersebut.
"Benar." Adnan melingkarkan kelima jarinya pada telunjuk Valerie hingga jari itu tenggelam dalam genggamannya. Ia menangkap tatapan Valerie padanya yang makin tajam. "Jadi, tidak ada alasan kamu tidak memberi tahuku. Aku melihatnya."
Aura galak Valerie keluar. Ia mengeratkan rahang dan genggaman. "Kakak mau kupiting, ha?"
Adnan tidak gentar. Ia justru senang karena pancingannya berhasil. Ia kini kembali melihat Valerie pada mode normal—galak. Dirinya tidak suka ketika Valerie berada di titik lemah seperti beberapa menit yang lalu. Hatinya ikut meringis pedih saat ada mendung pekat seperti tadi di raut wajah gadis tersebut. Akan jauh lebih baik mendengar Valerie mengoceh sepanjang waktu. Ia akan dengan senang hati merelakan telinganya pengang oleh Valerie.
Laki-laki itu baru saja menahan tawa karenanya. Valerie berjinjit dan melingkarkan lengan di leher Adnan. Ia membuat pitingan hingga Adnan menunduk. "Kakak seriusan menantangku, ya?"
"Kamu kira aku akan kalah?" Adnan pun membalas.
Mereka saling adu mulut dan mempertahankan diri hingga suara klakson dari lawan arah merasuki saraf auditori. Hal itu membuat keduanya berhenti, lalu mengarahkan pandang ke sumber suara. Mereka buru-buru mundur begitu sadar telah berada di tengah jalan.
"Ayo, pulang!" Adnan berjalan memimpin.
Namun, langkah Adnan terhenti oleh sebuah tarikan tas bagian belakang ketika mereka hampir sampai di pintu kaca. Membuatnya menoleh dan mendapati tatapan itu lagi.
"Kakak sungguh mematai-mataiku?"
Adnan memutar bola mata pelan, lalu mengangguk. Ia satu langkah maju dan berdiri tepat di hadapan Valerie lagi. "Kamu ada masalah apa dengannya?" tanyanya lirih. Tatapan lembutnya menumpulkan sorot mata Valerie perlahan.
Valerie membuang wajah dan menunduk dalam.
"Ceritamu akan aman padaku." Adnan hanya ingin menjadi tempat cerita Valerie dan menghiburnya.
Perempuan tersebut diam beberapa saat sebelum akhirnya menarik lengan jaket Adnan. Ia membawa Adnan berdiri di tembok samping kanan pintu masuk, kemudian memutar badan laki-laki tersebut hingga bahu kanannya menempel tembok.
"Diam seperti ini, jangan menoleh, dan aku akan cerita!" pinta Valerie dengan suara rendah.
"Oke." Adnan menurut meski sebenarnya belum mengerti.
Ada sesuatu yang nemempel pada punggung tegap Adnan di detik selanjutnya. Ia tidak tahu apa sampai akhirnya Valerie berkata, "Aku akan menunduk begini supaya Kak Adnan tidak bisa mengintip."
Ada tawa yang langsung menyerang, tetapi Adnan menahannya meskipun tidak berhasil sempurna karena Valerie menangkap getaran di kedua bahunya. Hal itu membuatnya mendapat satu tepukan keras—teguran agar tidak menertawakan.
"Dia kakak yang mengajariku banyak hal sejak kecil. Dia kakak yang cukup protektif dan penyayang, tapi tidak memanjakanku meskipun kami cuma dua bersaudara."
Bersaudara?Adnan tertegun begitu mendengar kata terakhirnya. Akan tetapi, mulutnya tidak mengeluarkan komentar. Ia akan menunggu sampai Valerie selesai bicara.
"Bahkan aku bermimpi suatu saat bisa punya suami sepertinya, tapi itu semua berubah sejak tiga tahun lalu, beberapa bulan sebelum Indonesia lockdown." Valerie berhenti dan mengambil napas dalam-dalam. Cairan bening mulai meluncur dan menetesi lantai.
"Boleh aku tahu kenapa?" tanya Adnan dengan hati-hati. Sedetik kemudian, ia merasakan gerakan dahi di punggungnya—Valerie mengangguk.
Setelah mendapat cukup asupan oksigen kembali, ia lanjut berkata, "Saat itu, aku ada kompetisi masak di sebuah hotel bintang lima di Surabaya. Aku memaksa kedua orang tuaku meluangkan waktu menjemput di bandara karena mendapatkan juara. Aku—hiks! Aku sungguh tidak sabar bertemu mereka. Dan sebenarnya, Kak Radit melarang mereka untuk menuruti kemauanku karena saat itu pekerjaan mereka sedang banyak—hiks!—, tapi Papa dan Mama tetap datang. Ketika jalan pulang, kami mengalami kecelakaan beruntun di tol yang melibatkan tujuh kendaraan."
"Val, aku—" Adnan ingin meminta Valerie berhenti saja. Ia tidak tega mendengar suara perempuan yang bersandar padanya itu makin lirih. Namun, Valerie tidak mengindahkan.
"Aku koma hampir dua bulan, Kak. Dan—hiks! Awalnya ketika aku tanya, dokter bilang kalau mereka di ruang perawatan intensif. Dan beberapa hari setelah sadar, aku baru dikabari dokter kalau Mama dan Papa meninggal di tempat kejadian. Hari itu ... benar-benar menjadi hari terakhirku melihat mereka. Hari itu juga menjadi penyesalan terbesarku karena tidak mendengarkan kata Kak radit. Aku menyalahkan diri sendiri. Dari kejadian itulah yang membuat Kak Radit membenciku. Seandainya ... seandainya saat itu aku mendengar omongan Kak Radit. Seandainya aku saat itu cukup bersabar. Seandainya ...." Sesak, sangat sesak baginya untuk meneruskan pengandaian itu.
Deretan kata panjang penuh duka itu membuat hati Adnan teriris. Tiga tahun lalu ia belum mengenal Valerie. Namun, detik ini dirinya berharap saat itu ia ada di sisi Valerie bersama dengan perasaan yang kini bersemi. Ia benar-benar membayangkan jika saat itu mereka telah dipertemukan.
Adnan ingin memeluk Valerie detik ini juga. Tubuhnya bergerak memutar, tetapi perempuan menahan kedua lengannya, mencegah balik badan.
Adnan menurunkan tangan itu agar melepas lengannya. Kemudian, ia benar-benar balik badan dan mendapati wajah Valerie lebih mendung daripada saat melihat Radit tadi. "Kurasa aku ingin memelukmu sekarang. Bolehkah?"
Valerie mendongak, menatap sejenak Adnan dengan sorot kaget. Namun, tidak memberikan reaksi menolak atau menerima. Pada akhirnya, Adnan berinisiatif untuk benar-benar memeluknya. Tubuh lelahnya ada dalam rengkuhan lengan Adnan.
________***__________
23.55 WIB, 23 September 2023
Thanks so much for your apreciaton,
Fiieureka
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasteless Proposal
ChickLit® Shortlist Winner AIFIL 2023, reading list @WattpadChicklitID __________*___________*____________ Valerie mewujudkan mimpi menjadi chef, tetapi kejadian naas menimpanya dua tahun lalu. Dia kehilangan indra perasa sehingga terpaksa berhenti dari pr...