"Masih ada cabangnya, kan?"
Pertanyaan bodoh! Bukan itu yang sebenarnya ingin diucapkan. Seharusnya, Haikal bertanya tentang kronologis hingga Valerie berada di situasi hidup yang sekarang. Seharusnya juga, ia bertanya bagaimana Valerie menjalani hidup tanpa mereka. Bagaimana Valerie mengatasi kesepian dan kerinduan pada mendiang orang tuanya. Satu lagi, apakah tinggal sendiri—mengingat Valerie pernah cerita pada Lutfi tentang kakaknya yang pergi karena kerja—seperti ini baik-baik saja? Namun, semua itu hanya terkunci di tenggorokan. Ego untuk tidak disangka terlalu penasaran dengan kehidupan Valerie berhasil membuat pita suaranya kaku.
"Kami putuskan untuk menjualnya juga," ucap Valerie di atas kebohongan. "Sejak kecil saya sudah dikenalkan dengan yang namanya cupcake. Dan sejak kuliah pariwisata, saya sering membantu almarhum Mama di bagian pastry terutama cupcake dan muffin. Kami berdua hobi berkreasi."
Haikal terpaku. Bukan karena mendengar penuturan itu yang kemungkinan besar membuat hati Valerie teriris oleh kenangan indah, tetapi menyakitkan tersebut. Sama sekali tidak ada aura garang, apalagi ceria meskipun hanya secuil yang tergambar di sana. Ia bereaksi demikian karena ini adalah pertama kali dirinya melihat Valerie menampakkan wajah sendu dan senyum miris.
Hati Haikal jadi tidak nyaman dengan ekspresi gadis itu. Melihat wajah garang dan mendengarnya marah-marah jauh lebih baik. Namun, sekarang ia tidak mungkin memancing Valerie agar mengeluarkan omelan.
"Chef?" Valerie meruntuhkan lamunan dan tatapan Haikal padanya.
Haikal memalingkan wajah begitu tersadar, kemudian menegakkan posisi duduk yang sebenarnya tidak merosot. Ia melirik perempuan yang wajahnya sudah kembali netral.
"Kamu sering ke sini?" tanyanya mengingat letak restoran tidak jauh dari rumah Valerie. Hanya butuh 10 menit jika jalan kaki lewat gang beraspal di sebelah Timur restoran ini. Itu yang dikatakan Valerie ketika ia mengantar pulang untuk pertama kali.
"Iya." Mata Valerie berbinar hanya mendengar pertanyaan seperti itu. Namun, sepersekian detik kemudian meredup. Ia melirihkan suara ketika berkata, "Setiap kali ke sini, saya seperti mengunjugi Mama, Chef."
Hati Haikal sedikit dirundung sesal karena telah melontarkan pertanyaan tersebut. Namun, ia sembunyikan itu dengan baik di balik raut datar. Ia tidak tahu Valerie akan kembali mengungkit tentang hal itu. Diliriknya jam bertali kulit yang melingkar di pergelangan kiri. Jarum pendek sudah melewati angka 8. Itu artinya, sudah 1 jam lebih sejak mereka selesai kerja dengan extend 2 jam.
"Saya lapar." Haikal mengalihkan topik dan berkata dingin. Ia tidak suka melihat Valerie dengan wajah sendunya karena benar-benar terasa aneh. Maksudnya, seperti bukan Valerie yang ia kenal empat bulan belakangan ini.
Valerie bangkit dari duduk dengan membawa tas untuk memesan. Namun, Haikal mencegah dan menyuruhnya kembali duduk. Ia tidak menurut dan melemparkan tatapan tanya dengan dahi mengerut.
"Biar saya yang pesan." Haikal mengangkat pantat dari kursi.
"Kan saya yang traktir, Chef." Valerie mengingatkan.
"Tidak. Anggap ini obat biar kamu sehat dan besok masuk kerja." Haikal menatap ke sembarang arah ketika berucap. Yakin Valerie sudah tamat dengan berbagai menu yang ada, maka ia bertanya, "Mau pesan apa?"
Senyum lebar langsung tersungging. Tidak dipungkiri bahwa senang juga tidak jadi mentraktir. Uangnya jadi utuh. Valerie mengarahkan tatapan pada etalase tadi dan berkata, "Cara choco cupcake satu dan eum ...." Ia berpikir sejenak.
"Tiramisu." Haikal menimpal dengan tanpa emosi. Ia mengendikkan dagu ke arah banner berisi informasi berupa empat dessert varian baru dan salah satunya tiramisu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasteless Proposal
ChickLit® Shortlist Winner AIFIL 2023, reading list @WattpadChicklitID __________*___________*____________ Valerie mewujudkan mimpi menjadi chef, tetapi kejadian naas menimpanya dua tahun lalu. Dia kehilangan indra perasa sehingga terpaksa berhenti dari pr...