Katanya, tempat yang paling nyaman adalah rumah sendiri? Sebagai tempat mencari tenang, sebagai tempat terbaik kita pulang. Tapi kenapa justru rumah selalu mengutukku seolah membawa pergi rasa bahagia dan membiarkan warasku tertinggal diluar pintu? Kenapa rumah justru berasa neraka yang memanggangku dengan api yang keluar dari mulut orang tuaku sendiri? Tuhan.. Aku menyayangi mereka, tetapi kenapa mereka selalu membuat aku kecewa seperti ini? Aku capek, aku lelah.. Aku baru saja bahagia, tapi Engkau merebut kembali bahagiaku. Salah apa aku Tuhan..?? Batin April menumpahkan segala isi hatinya.
Gadis itu menekuk tubuhnya, tangannya memukul kepala berkali kali berharap semua isi kepalanya bisa hilang dan dia tidak perlu memikirkan hal hal yang menyakitkan. Beberapa kali dia juga memukul dadanya seolah sedang merutuki dirinya sendiri kenapa harus hidup dalam lingkaran dunia seperti ini. Dia juga merutuki hatinya yang begitu lemah. Kenapa selalu menangis, padahal berada dalam situasi seperti ini bukanlah hal yang pertama kalinya. Tapi, gadis itu tetap tidak bisa bertahan, tembok tembok yang dia bangun selalu runtuh. Gadis itu memang rentan hatinya.
"Menangis gak akan nyelesain masalah, Pril! Ayo kuat!" Ucapnya pada dirinya sendiri.
"Tapi.. Dengan menangis perasaan aku bisa lega, cuma menangis satu satunya cara agar aku bisa bertahan, karena dengan menangis beban beban itu keluar bersama air mata.." sanggah hatinya di lain sisi.
"Tapi.. Kamu sendiri tahukan? Perasaan seperti ini yang kamu benci, perasaan ini yang membuat kamu mati perlahan.. Kamu gak boleh terlalu larut dengan rasa menyedihkan ini! Kamu harus kuat! Jangan ingat lagi toloong.."
April mengusap air matanya yang jatuh, dia menarik nafasnya berulang kali, menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. Berharap dia segera tenang, namun saat kejadian itu kembali pada pikirannya, hatinya kembali berkecamuk. Dia ingin sekali berteriak, tapi tak bisa. Hanya tangannya yang kemudian bergerak memukul lututnya kesal.
"Aku gak bisa lupa!! Aku benci.. Benci.. Ini.."
Perasaannya selalu mengeluarkan pendapat, lalu dia sangkal sendiri. Dia berusaha mengajak bicara baik baik perasaannya tapi selalu tak bisa. Dia capek dengan dirinya sendiri. Dia lelah ketika sadar bahwa dirinya sendiri tidak bisa paham apa mau hatinya. Dalam dirinya seperti ada dua orang yang selalu mengatakan hal hal yang berbalik satu sama lain. Saling mematahkan keinginan masing masing. Antara pikiran, atau perasaan.
Pikiran dan perasaannya tidak pernah damai. Dia butuh seseorang yang mampu mendengarkan cerita ini, yang bisa memberikannya sedikit solusi agar gadis itu dapat tahu langkah apa yang harus dia ambil setelahnya. Sedikit tenang, dia ingat bahwa didunia ini dia tidak sendiri. Dia ingat, dia masih memiliki seorang disaat orang orang yang harusnya memberikan kebahagiaan justru membuatnya terluka. Gadis itu tersenyum kecil penuh harap lalu mengambil ponselnya. Tangannya dengan cepat menekan tombol hijau dan telepon antara keduanya tersambung.
"Halo? Iya Pril?" Ucap orang di sebrang. Gadis itu sedikit merasa lebih tenang mendengar suara dibalik telepon itu.
"Ada apa?" tanya nya lagi.April menggeleng seolah orang di balik telepon dapat melihatnya. "Gak papa"
"Artinya ada apa apa?"
Senyum April pudar, dia ingat lagi kenapa dia menangis tadi. "Aku mau ketemu.."
"Oh kangen..?" Suara Mei terdengar meledek, namun hal itu berhasil membuat April terkekeh pelan. "Aku juga kangen sayang.. " godanya.
"Mei..."
"Apa sayang..?"
"Mei ih! "
"Haha iya.. pasti kamu lagi senyam senyum sekarang? Jadi pengen ketemu, biar bisa liat senyum kamu yang manis itu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pieces Hurt [Tamat]
Teen FictionRank=> 8-bertepuk sebelah tangan (140619) 9-bertepuk sebelah tangan (250619) Sebuah Kehidupan SMA yang sebenarnya. Ceritanya sedikit terdengar *klise* sama kehidupan asli. Bukan dalam cerita sastra. Bukan tentang badgirl atau badboy at...