Prolog

1.1K 40 3
                                    

Tepat di belakang sekolah keduanya menyandarkan punggung di tembok yang beberapa catnya sudah mengelupas. Sambil duduk selonjoran di rumput yang masih sedikit basah, gadis berseragam putih abu-abu itu berkali-kali mendengus seperti hendak mengeluarkan suara bebannya namun tertahan. Cowok dengan pakaian sedikit semrawut di depannya  hanya memperhatikan tak berani angkat bicara, takut kata-katanya salah, justru semakin melukai.

Ya, namanya April. Matanya mulai berkaca-kaca, lagi. Namun belum sempat airmata itu jatuh, selalu dia usap terlebih dahulu.

"Seharusnya, kalo kamu gak mau pergi itu bilang, " ucap laki-laki itu akhirnya, sungguh perasaannya tidak tega sendiri melihat gadis di depannya seperti ini. Sambil mengusap pipi April yang akhirnya basah, cowok itu tersenyum kecil dalam artian juga menahan perasaannya sendiri. Tebak, Situasinya? Bagaimana perasaan kita akan baik-baik saja, jika menghadapi situasi seperti ini. Melihat gadis yang kita sukai menangis, karena keduanya akan di pisahkan.

Sambil mengusap pelan bahu April bermaksud menegarkan, cowok itu menyematkan kata-kata semangat. "Udah, udah.. Lagian di Jakarta aku yakin kamu akan dapat teman yang lebih baik dari aku, jangan nangis, April yang aku kenal adalah gadis kuat! Udah, berhenti nangisnya.."

"Galuh.. Hiks, " Bukannya diam, April justru semakin menangis.

Laki-laki bernama Galuh itu sempat bingung. Walau hal ini bukan pertama kalinya April menangis didepannya, namun tetap saja dia bingung bagaimana menangani gadis menangis seperti ini. "Pril, banyak hal yang lebih menyakitkan dari ini dan kamu bisa melaluinya gitu aja, "
Sambil menghela nafas, gadis itu mengusap airmatanya dengan tersenyum. April mencoba meredakan tangisnya, ucapan Galuh benar-benar manjur. Galuh mulai melega, segera dia mengambil sebotol air mineral di dalam tasnya dan memberikannya pada April. "Nih minum dulu," ucapnya.

Setelah meneguk air mineral itu, April kembali memberikannya pada Galuh. Lagi-lagi, tatapannya menerawang kosong. "Karena selama ini ada kamu Luh.." ucapnya lirih.

April menarik nafas pelan, hendak melanjutkan. "Aku terlanjur nyaman di kota ini Luh, aku gak mau pindah lagi, aku takut setelah hari ini aku bakal bener-bener sendiri, aku takut disana gak punya teman, bahkan di Yogya ini, yang katanya kota penuh ramah-tamah, cuma kamu yang mau berteman sama aku?"

Galuh terkekeh hambar,"Teman bisa dicari," ucap Galuh lagi.

"Tapi gak ada yang kaya kamukan? Galuh, aku juga benci kita harus pisah kaya gini, kamu sahabat aku satu-satunya" April menekankan akhir kalimatnya. Jujur, kapanpun dia akan sendiri nanti, dia lebih benci hari ini. Perpisahan, begitulah gadis itu sangat membencinya.

Galuh kembali berusaha menenangkan April, tangannya terangkat mengelus puncak kepala gadis itu. "Aku juga benci kita harus berpisah, tapi aku lebih benci sama diri sendiri yang sama sekali gak bisa membantu agar kita gak bisa pisah"
April segera memeluk laki-laki di depannya. Galuh terlalu berharga untuk dianggap sekedar teman masalalu, karena dia yakin, setelah hari ini pun mereka tak akan sedekat dulu. Galuh satu-satunya teman yang dia miliki sekarang. Bahkan, otak nya yang cemerlang sekalipun, tidak membantunya untuk mendapat teman. Baginya selain stereotip tentang teman yang hanya datang saat butuh saja, yang hanya memanfaatkannya tanpa timbal balik. Dia lebih takut, bila nanti mendapat banyak teman akrab, pada situasi yang sama. Perpisahan itu pasti akan terasa lebih menyesakan. Begitulah kira-kira.

Sambil melepaskan pelukannya, April mencoba mengusap airmatanya yang kembali membasahi pipi. "Makasih buat selama ini," ucapnya dengan kepala masih menunduk.

Galuh tersenyum kecil "terimakasih kembali". Cowok itu mengangkat dagu April agar tatapan mereka bertemu, "jangan nangis lagi"  sambungnya. April hanya tersenyum. Seperti hipnotis, Galuh ikut tersenyum. "Kamu lebih cantik kalo senyum, Pril."

Pieces Hurt [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang