37 - Late to tell

65 5 1
                                    

Aku tidak tahu harus merasa istimewa atau menyesal karena tau tentang ini.


"Hei.." sapa Gisel saat Mei terlihat melamun dengan memainkan gitarnya asal. Sedang Mei sedikit terperanjat saat menyadari ada seorang yang duduk disebelahnya.

"Oh Gisel, apa Sel?" Sahut Mei.

"Ngalamun terus, ngalamunin apa sih?" Tanya gadis itu membuat Mei menghela nafasnya. Gisel mengernyit, eskpresi Mei mudah sekali ditebak. Entah itu senang, marah, atau terlihat banyak pikiran seperti ini. "Ada masalah?" Tanya Gisel memastikan.

"Keliatan banget emang ya?" Mei melanjutkan permainan gitarnya, walau terlihat tidak niat namun masih bisa dibilang merdu. Pikirannya kembali kalut memikirkan gadis yang tentu saja bisa semua orang tebak siapa dirinya. Satu satunya gadis yang bisa menyita pikiran Mei.

"Iya, keliatan banget. Untung permainan lo gak ancur tadi, gue seneng sih lo mulai profesional buat misahin masalah pribadi sama urusan lo disini, tapi tetep aja gue gak suka liat sahabat gue galau galau an terus, April lagi?" Tebak Gisel yang untuk kedua kalinya membuat Mei menghela nafas. Jujur dia tidak suka dengan arah pembicaraannya, tapi dia ingin memastikan. Sekalipun dia tahu, jika keingin-tahuannya tentang hubungan mereka itu sama dengan membunuh perasaannya.

Merasa tidak akan mendapat jawaban dari Mei, Gisel kembali mengatakan unek uneknya.
"Kenapa sih? Perasaan gue liat hubungan kalian adem terus, diem diem terus gak pernah bertengkar, tapi muka lo keliatan capek banget ngejalaninnya. " ungkapnya jujur.

Mendengar itu Mei terkekeh pelan, entah apa yang lucu pada ucapan Gisel tadi. Mungkin otaknya sedikit geser karena terlalu bucin pada pacar sekaligus cinta pertamanya itu.

"Lo kenapa sih? Merinding gue" lanjut Gisel bergidik ngeri.

"Gak.. Gue cuma capek aja"

Gisel mendengus. Sedari tadi dia bertanya panjang lebar, cowok itu hanya cengengesan, tidak pernah menganggapi pertanyaan Gisel dengan benar.
"Belasan tahun kita sahabatan lo masih main rahasia-rahasiaan sama gue Me?"

Mei lagi lagi hanya tersenyum tipis membalasnya, masih enggan menceritakan apa yang mengganggu pikirannya pada sahabat kecilnya itu.

"Udahlah! Gue ngerasa gak dihargain disini!" Gisel beranjak ingin pergi, namun Mei menahan tangannya. Sebenarnya dia butuh teman, dia butuh seorang yang bisa mendengarkan keluhannya.

"Apa lagi? Gue mau pergi"

"Lo marah sama gue?" Timpal Mei menyadari emosi Gisel karena nada jutek cewek itu.

"Menurut lo?! Gue disini nanyain lo kenapa lo malah diem aja! "

"Sorry sorry, "

"Udah lepasin gue mau pergi!" Gisel masih berusaha melepaskam genggaman Mei namun cowok itu tetap mencekalnya.

"Jangan marah ya?"

"Terserah gue lah!"

"Lo kalo ngambek nakutin Sel, jangan marah dong" bujuk Mei yang bukannya membuat emosi Gisel mereda justru membuat gadis itu semakin marah.

"Nakutin??!"

"Enggak, bercanda gue, cepet duduk lagi mau dengerin gue cerita nggak? Lo tadi nanyain itu kan?"

Gisel mulai terlihat kalem, namun tetap saja dia masih kesal dengan Mei. Cewek itu mengibaskan tangan berpura pura tidak minat dengan cerita Mei. Padahal jujur saja, dia mulai penasaran.

"Gue gak peduli!"

"Padahal gue lagi butuh teman cerita"

Gisel menatap Mei sebentar. Setelahnya dia kembali duduk.
"Gue mau dengerin karena gak tega liat muka menyedihkan lo itu! "

Pieces Hurt [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang