Bab 35 [Menuju Puncak Ecosic]

34K 2.2K 150
                                    

Malam Ecosic sudah hampir tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam Ecosic sudah hampir tiba. Setelah menunaikan sholat Maghrib, puluhan panitia berseragam ungu itu segera melancarkan aksi dan memulai opening pentas. Tak ketinggalan Kahfi, Kenno dan si kembar yang kini sudah berkumpul dengan panitia lain memulai sesi doa. Lalu setelahnya Dewo meluncur bak penguasa perang dengan headbanner dan speaker yang menemaninya sejak pagi tadi.

"Heh, heh, Tong ngapain lo diem aja?!" sungut Dewo melihat Kenno yang malah bersiul-siul ditemani teropong di tangan.

Kenno mencibir kesal. "Ye, Wo, apa dah kerjaan gue kan udah end? Minggir sono, gue mau cari ayang gue!"

Dewo melotot. "Apa lo bilang? Cari Ayang lo? Enak aja, nggak ada, cyn. Kita ini di sini kerja. Mana tadi duit iuran nggak lo kumpul, kan? Ha? Mana sekarang duitnya?" todongnya sambil memukul-mukulkan speaker ke arah paha Kenno.

"Iye, iye, sabar ah. Lo mah jadi ketua bacot mulu." Kenno membongkar tas pinggangnya dengan setengah mengomel. "Noh, duitnya," katanya mengulurkan kotak ke arah Dewo tak ikhlas.

Dewo menyambar dengan tak peduli. Matanya berputar dan emosinya kembali ke ubun-ubun saat dilihatnya Zian dan Hanif asyik menyantap snack dari hasil go food seluruh panitia. "Buset, itu juga berdua. Bangun lo pada bangun. Heh, Mbul, makan lo direm napa, sih? Lo juga, Nip, jangan ikut-ikutan si gembul makan. Enak aja pada duduk-duduk yang lain kerja."

Zian mendengus sembari menyembunyikan ayam pok-pok miliknya. "Ya udah, maaf. Suruh ngapain, nih?"

"Tuh, meja-meja di belakang angkat." Dewo bersungut sebal. "Lo juga, Nip. Buat naruh alat LCD-nih."

Hanif melotot seketika. "Ya, jangan dong, Wo. Masak gue ngangkut meja segede gambreng gitu berdua ama Iyan doang? Lah, gue kan kecil."

"Lah, bodo amat. Udah sana buruan. Go away! Go away!" Dewo menepuk jidat frustasi saat dilihatnya beberapa alat musik masih tergeletak di rerumputan. "Adoh, Ujan mana dah? Woi, Tong, bantuin gue angkat, nih!"

Kenno berkacak pinggang sebal. Tapi segera berlari menyalurkan bantuan pada Dewo yang bertubuh kecil itu. "Iye, gue bantu. Ah, bacot lagi."

"Lah, lo jadi mau nyanyi kagak? Ya kalau nggak jadi ya udah nggak usah."

"Ya, jadilah. Enak aja! Gue latihan buat perform sebulan tahu! Masak nggak jadi nyanyi?! Kasihan suara merdu gue dianggurin!"

Kahfi yang kebetulan melihat kesibukan Dewo dan Kenno hanya bisa terpaku bingung. Sejak tadi tangannya tak henti menggaruk leher sembari matanya berputar menatap riweh anak panitia lain di sekelilingnya. Kahfi sendiri hanya bingung. Jujur pengalaman seperti ini masih awal-awal baginya. Kalau Dewo tidak mengatakan dia harus bagaimana ya mana dia tahu apa yang harus di lakukan.

"Wo, gue bantu angkat-angkat juga?" tanya Kahfi kelewat polos.

Dewo melotot. Kenno hanya nyengir. Sampai akhirnya Dewo menggerutu sebal. "Adoh, bocah ganteng. Untung lo calon generasi Ustadz masa depan, kalau enggak, udah gue lempar ke panggung sana."

Kahfi dan YumnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang