Bab 8: Memikirkan yang tidak pasti

56.1K 4.2K 1.5K
                                    

⁉️WARNING⁉️

CERITA INI SEDANG DIREVISI DENGAN VERSI TERBARU YANG LEBIH SERU. SO, JANGAN TANYA KENAPA PARTNYA CUMA SEGINI!

《 Aku saranin kalian bacanya selagi masih on going, karna cerita ini akan segera terbit dalam versi cetak. 》

Buat silent readers,
kenapa kalian diem ngga pernah kasi feedback?💭


°°°

"Bukankah masa depan adalah suatu hal yang masih menjadi misteri kepastiannya. Jadi, kenapa selalu ada pertanyaan, 'mau jadi apa kamu?' Saat terkadang, suatu rencana yang telah disusun pun terjadi berbeda?"

 Jadi, kenapa selalu ada pertanyaan, 'mau jadi apa kamu?' Saat terkadang, suatu rencana yang telah disusun pun terjadi berbeda?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"REYNAND ANDROMEDA BALINDRA!"

Sang empunya nama semakin menelungkupkan kepalanya ke dalam bantal ketika teriakan melengking Rena, menggema di penjuru kamarnya.

"Kebo, udah jam 11 bego! Bangun ya!" Rena melemparkan handuk Rey tepat mengenai wajahnya. "Buruan mandi, temenin gue pergi!" lanjutnya tidak beradab, langsung melenggang pergi.

Dengan wajah setengah ngantuknya, Rey berlalu pergi menuju kamar mandi. Sebelumnya, dia mengecek ponselnya terlebih dahulu. Namun ternyata, nihil. Huh, memangnya apa yang dia harapkan?

🐬🐬🐬

Rena meminta Rey menemaninya menuju gramedia. Sebenarnya Rey terlalu malas, namun daripada di rumah bersama orang tuanya yang pastinya selalu membucin, alhasil Rey pun mengantarnya.

Mereka jalan bersisian, membuat beberapa orang yang melihatnya iri karena mereka seperti sepasang kekasih yang nampak serasi.

"Sekolah kedokteran, emangnya lo nggak stres Karen?" Rey yang melihat beberapa buku medis yang tebalnya bisa dijadikan bantalan tidur- diambil Rena, merasa pusing. Tidak mungkin bukan semuanya dibaca?

Rena terkekeh. "Ini belum seberapa Rey."

"Tapi karna ini minat dan bakat gue, gue suka tanpa terpaksa. Nggak beban, tapi menyenangkan," lanjutnya santai.

"Kok bisa samaan kaya mas Raka?"

"Namanya kembar, mungkin udah sehati, ya."

Rey mengangguk saja. Melihat keadaan sekitar di rak bagian buku self improvement, sembari menunggu Rena yang tengah melihat-lihat buku.

"Udah berkorban banyak waktu dan pikiran gitu, yakin lulus langsung jadi dokter?"

"Harus yakin, biar aura lo positif. Seluruh alam semesta juga harus tau, kalau ada calon dokter berbakat seperti gue. Kalau gue udah yakin, secara nggak sadar, satu persatu yang gue inginkan akan tercapai," ucap Rena serius.

SHERENA (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang