Chapter 4: Escape

2.6K 580 96
                                    

ADA bau darah yang tercium saat River membuka mata.

Ketika dia tidak sadarkan diri merupakan jeda dari rasa sakit dan ingatannya. Terakhir kalinya yang River ingat adalah prosesi kematian mengerikan seorang tentara yang lehernya dikoyak oleh gigi-gigi monster. Menjijikkan dan membuat muntah.

Namun setelah itu, apa yang terjadi?

River bertanya-tanya, berusaha naik ke permukaan setelah tenggelam dalam keakraban rasa nyeri yang tajam di sekujur tubuhnya. Hanya dalam beberapa detik saja, ingatan mengenai kecelakaan itu membanjiri benaknya.

Dengan panik, River mengangkat kepala satu sentimeter untuk menengok ke kanan, ke kiri. Mencoba menyingkirkan desakan ngilu di separuh tubuhnya, tetapi gagal. Dia melihat kekacauan di mana-mana. Di luar. Di dalam mobil. Dua-duanya sama-sama gerbang kematian.

Buruk. Ini buruk.

Kami harus cepat pergi!

River gemetaran tak terkendali, bercucuran keringat dan membeku kedinginan. Semua ini membuatnya takut. Dia merasakan perasaan tidak aman menggelora di dadanya. Jangan panik, jangan panik, jangan panik! Dia memerintah tubuhnya. River hanya mendengar degup jantungnya sendiri dan darah yang berdesir di telinganya. Di dalam ruang sempit itu, bersusah payah melawan kegelapan.

Dia mencoba bergerak, beringsut beberapa sentimeter ke kiri. Bau mesin yang kuat serta anyir darah menyatu dalam kelembapan udara di sekelilingnya, membuatnya mual dan terbatuk-batuk. Dia bisa saja mati, tetapi kali ini belum. River semakin merasakan dorongan yang kuat untuk bertahan. Dengan tangan bergetar, dia membuka sabuk pengamannya, lalu menoleh ke sisi kirinya.

Melihat Juan.

Anak itu masih tak sadarkan diri dengan kepala terkulai di bahu. Dadanya naik turun, menandakan dia masih bernapas. Selain fakta bahwa dia pingsan, selebihnya Juan tampak baik-baik saja. Tanpa luka parah―mungkin hanya lecet dan lebam karena benturan. River bergeser mendekati Juan, menengadahkan kepalanya, kemudian menepuk-nepuk pipinya. Dia melihat kelopak mata Juan bergetar sebelum membuka dengan berat.

"Juan, kau bisa bergerak?"

Juan tampak linglung, merintih seperti baru saja mimpi buruk. Matanya merayap ke atas memandang River yang menatapnya cemas, kemudian dia terpaku sebentar. Berangsur-angsur pupilnya melebar seiring ingatan mengenai rentetan kejadian menyelubungi pikirannya. Juan hendak berbicara, tetapi saat membuka mulut dia terbatuk-batuk.

"Tenangkan dirimu!" desis River, yang langsung memijat pelan tengkuk Juan untuk meredakan shock-nya. Sementara itu, matanya menjelajah kondisi orang tuanya di bangku depan. River menemukan keadaan ibunya yang tampak mengkhawatirkan.

Selene seperti boneka kayu yang ditelantarkan. Lunglai. Tak berdaya. Sisi kepalanya membentur dasbor mobil. River menyandarkan kepala ibunya dan menyentuh telinga ibunya yang tergores dan berdarah. Kabar baiknya dia menemukan denyut, walau terasa lemah. Dia melongok sedikit ke bawah, dan mengira, ibunya sedikit terjebak di sana. Bagian depan mobil penyok ke dalam dan mengapit kakinya. Selagi memikirkan cara untuk menolong, River beralih memandang ayahnya di bangku kemudi, yang terpuruk dengan kondisi paling parah.

Ya Tuhan.

Oh, tidak.

Tidak, tidak, tidak!

"Ayah, bertahanlah!"

River menatap pada ayahnya yang bersimbah darah. Anyir itu jelas berasal dari luka parah yang dialaminya.  Dia menguatkan pandangannya untuk menyusuri sumber kekacauan, terpaku pada jendela depan yang hancur berantakan. Sebuah dahan pohon besar patah dan menukik masuk melalui lubang pecahan. Seperti tongkat kayu yang runcing, dahan itu terjulur menusuk pangkal lengan ayahnya, menembus hingga ke balik jok kemudi. Darah merembes di sana, mengilap, serta membasahi pakaian ayahnya. River tidak tahu apakah lengan ayahnya masih bisa diselamatkan. Dia tidak mau memikirkan yang terburuk.

𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang