WAYNE membuka mulut untuk menjerit, tetapi setangkup tangan dingin malah membekap mulutnya, dan satu tonjokan keras menghantam pipinya tanpa ampun.
Pria itu menjambak rambutnya―mengangkat kepala Wayne. Sekonyong-konyong sisi wajah anak itu dibenturkan pada lantai semen di bawah mereka. Lalu, tonjokan-tonjokan berikutnya datang bertubi-tubi; kekerasannya setara batu. Rasa sakit yang baru, dan segar. Wayne dikungkung pasrah dalam belitan si pria yang sekuat besi. Hanya mampu merintih dan tersedak-sedak karena darah dari hidungnya masuk ke tenggorokan.
Selagi hantaman dan tendangan menghujani tubuhnya, dia berpikir dengan merana....
Dia seharusnya tahu, dengan penampilan bodohnya, dia hanya akan dianggap nyamuk pengganggu dan pantas untuk dihajar. Mungkin, di mata orang-orang, Wayne memiliki satu persamaan mendasar dengan para monster yang menjadi ancaman itu.
Mereka sama-sama perlu dibasmi karena keberadaannya tidak diharapkan.
Suara kelontang besi yang jatuh tiba-tiba terdengar, menengahi aksi pemukulan yang terjadi di ruang penyimpanan itu. Si pria menghentikan pukulannya di udara (nyaris saja menghantam rahang Wayne) dan menoleh ke belakang dengan cepat.
Dia melihat, di tengah-tengah cahaya redup yang jatuh dari ventilasi berjeruji yang tercoreng debu, sosok laki-laki kurus dalam balutan sweater hijau botol berdiri di ambang pintu yang terbuka. Menatap kepadanya.
"Hei," kata si laki-laki. "Aku tidak sedang berusaha mengganggu pertemuan kalian, tapi asal kau tahu, di luar sana ada dua orang tentara yang sedang menuju kemari."
Si pria melepaskan jeratannya dari Wayne. Dia berdiri tegak dan mengulum lidah di pipi untuk menimbulkan kesan garang, dan menjawab dengan nada berkuasa, "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Kamar mandi di dalam kompartemenku penuh, jadi aku bermaksud untuk mencari bilik toilet lain." Kedua tangannya dilesakkan dalam saku celana olahraga―antara ingin terlihat tenang atau menyembunyikan ketegangan. "Tapi, tak kusangka malah mendengar sesuatu dari dalam ruangan ini. Coba kulihat, ternyata kau berani juga menghajar orang di sarang tentara."
Si pria menjawab dengan sentakan kemarahan di perutnya. "Mereka semua cuma pengecut yang berlindung di balik senjata, untuk apa aku takut?"
"Kau pergi ke tempat ini karena takut dengan monster, jadi kau sama penakutnya dengan tentara yang kau anggap pengecut," tepis si laki-laki dengan kecut. Dia berpaling ke belakang, sekilas mengecek pintu besi tingkap yang terbuka separuh, kemudian menghadap pada si pria jangkung bertubuh kekar.
Nada suara berikutnya yang keluar terdengar kalem, namun mengintimidasi. "Sudahlah, aku tak mau berdebat denganmu. Kau tidak mau, kan, kalau tentara itu memergokimu yang sedang menghajar orang? Mereka punya sangsi berat bagi para pelanggar aturan di tempat ini."
Walau kesannya terpaksa dan sangat jengkel, tapi pria itu akhirnya menyerah. Dia memberi pelototan tajam kepada Wayne sebelum menyingkir darinya. Anak itu menutupi wajahnya yang bengkak-bengkak selagi menunggu si pria pergi. Suara langkah kakinya berderak di atas lantai semen.
Setelah beberapa saat, terdengar keriat pintu besi yang tertutup. Wayne mendongak pelan-pelan, dan melihat laki-laki berbaju hijau masih ada di ruangan itu. Menatapnya.
"Sama-sama," kata si laki-laki, terdengar datar dan tidak minat.
Wayne berdiri dengan terhuyung. Sesuatu dalam dirinya bergejolak kecil. Dia menatap ke mana laki-laki itu pergi, yang ternyata menghampiri berlusin-lusin kotak penyimpanan yang ditumpuk di dekat jendela berjeruji. Sinar lemah matahari yang masuk melalui celah-celah terpapar pada sisi wajahnya, sehingga Wayne dapat melihatnya lebih jelas.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction🏅 PEMENANG WATTYS 2021 KATEGORI SCIENCE FICTION ⭐ TERSEDIA LENGKAP BAIK DI WATTPAD MAUPUN DI KARYAKARSA ⭐ Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyera...