DI TENGAH kesadarannya yang mengambang dalam lapisan berkabut, dia kembali pada memori satu tahun lalu.
Ekspresi suaminya sama persis sebagaimana yang dilihatnya pada pertemuan pertama; berdiri sambil tersenyum di tengah-tengah peron kereta selagi melawan kerumunan yang bergerak cepat di sekelilingnya. Dan, kenangan itu mendadak saja berubah menjadi mimpi buruk, ketika tanpa diduga dia melihat api tersulut pada wajah suaminya, menelannya dalam jilatan-jilatan yang menyala panas.
Dia meraung menyaksikan suaminya menjerit kesakitan. Tangannya terjulur, menggapai-gapai dengan liar. Namun, dia sadar bahwa tubuhnya tak ada di sana. Hanya pikirannya saja.
Rasanya seperti kehilangan satu potongan penting dalam hidup ketika dia terbangun dengan tekanan yang berat.
Dia mengartikan mimpi buruknya sebagai pertanda kehilangan sosok yang dicintainya, dan firasat itu benar. Hari itu seakan tak pernah berakhir, malam ketika dia mendengar seluruh kesaksian River selalu membuat hatinya perih oleh rasa kesepian. Apa benar Hans telah meninggal dalam kecelakaan? Rasanya seolah terbangun pada semesta yang keliru. Mungkin jika tidur, dia akan kembali ke pelukan suaminya, tempatnya seharusnya berada.
Akan tetapi, dia sadar, seberapa besar pengharapannya, dia tak akan bisa kembali pada masa itu. Tak ada jalan keluar, katanya dalam relung ingatannya yang lemah. Dia merenung, dan ketakutan itu mulai menggerogoti tubuhnya.
Mimpi-mimpi buruk mulai meracuninya bagai lahar perut bumi yang menuruni lembah, membakar apa yang tersisa dalam jiwanya yang berlubang dan hancur. Saat malam tiba, dia tidak bisa memastikan mengapa telinganya mulai dipenuhi oleh bisikan-bisikan gelap.
Dia mendengarkan jeritan suaminya―suara bingung yang tidak terjangkau―terhenyak terlalu lama ketika sadar bahwa suara itu berasal dari dalam kepalanya.
Apa yang terjadi? Dia memberontak, ingin keluar dari penjara pikirannya sendiri, akan tetapi, jeritan-jeritan pilu terus berdatangan.
Pada malam berikutnya, dia terbangun dengan sekujur tubuh yang perih. Butuh segenap tekad untuk duduk dan menarik tubuhnya agar bisa pergi ke kamar mandi. Susah payah dia menyeret tubuhnya, meniti beban pada tembok yang lembab dan dingin. Saat telah mencapai kloset, tiba-tiba dia menunduk, lalu memuntahkan isi perutnya. Dia melontarkan semuanya hingga tak ada yang tersisa di tubuhnya lagi.
Tubuhnya gemetar dan licin oleh keringat. Ketika mendongak, dia melihat bayangannya sendiri di hadapan cermin.
Kebingungan melandanya.
Mengapa refleksinya yang sekarang berubah seperti bukan dirinya? Wajahnya terpangkas dalam goresan-goresan yang kaku dan menyeramkan, seolah-olah dia bukanlah wanita yang sama seperti dulu lagi.
Dia menyentuh kulitnya yang berubah pucat, rasanya begitu kering dan mengenaskan. Kulit bibirnya mengelupas dan kantung matanya membesar. Bintik-bintik seperti keropeng timbul di bagian lehernya yang benjol dan menghitam.
Apa yang membuat infeksinya berubah separah ini? Disentuhnya memar itu, lalu bergidik. Kesakitan menjalar di seluruh otot wajahnya saat dia menekan benjol itu, mengeluarkan lelehan nanah kuning yang bercampur darah pekat dan lendir. Jari-jarinya gemetar saat mengelap kulitnya yang tersembur oleh cairan menjijikkan.
Apa yang terjadi pada tubuhnya?
Dunia di sekelilingnya berubah ketika dia terseret pada pagi hari berikutnya. Dia mulai berhalusinasi melihat segalanya. Karpet di bawah kasurnya dipenuhi ular-ular yang menggeliat. Mulutnya menjerit sekuat tenaga, tetapi tenggorokannya seperti dipilin-pilin. Suaranya terdengar seperti rengekan tipis yang serak. Saat nyaris terlepas kendali, dia mendengar keriat pintu kamarnya berayun membuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Science Fiction] Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyerang North Carolina. Karena suatu peristiwa, River dan Juan...