Chapter 39: Disclosure

829 256 29
                                    

"JADI, bagaimana kau bisa tinggal di Penginapan milik orang tuamu?"

Kini, sampailah Nathaniel di kebingungan akhir dari teka-teki trauma gelap pria itu. Nathaniel mengangkat satu kaki hingga bertumpu di lutut satunya, dengan tampang serius, menunggu jawabannya.

"Aku berhasil kabur, tentu saja," jawab Claude, duduk bersandar di tembok di balik ruangan bersekat kaca. Matanya tengadah menatap Nathaniel, dan labirin otaknya membayangkan kembali ingatan itu. "Semua ini dimulai ketika adikku masuk ke ruang laboratorium setelah meretas kunci ruangan tempat ayah mengurungku. Katanya, dia mendengar percakapan ayah dan ibuku tentang rencana mereka terhadapku. Adikku menyuruhku segera pergi agar aku tak perlu menjadi bahan percobaan lagi, tapi saat itu alarm ruanganku tiba-tiba berbunyi sehingga Ayah langsung turun. Dia murka menyaksikan prosesi penyelamatan itu, menuding adikku sebagai bangkai tak layak. Kemudian Ayah, saking kalapnya, hendak menyergap adikku―entah bagaimana, di tangannya ada pisau bedah. Adikku sudah hampir tak punya kesempatan untuk lari, tapi saat itu aku bergerak lebih cepat ...."

"Apa yang kaulakukan, Claude?" tanyanya.

"Aku menikamnya dengan pisau itu."

Hening. Nathaniel mencoba bernapas dengan tenang.

"Aku gelap mata melihat ayahku," Claude melanjutkan dengan berat, "Setelah Ayah membongkar rencana yang dilakukannya padaku, aku menyimpan kebencian yang mendalam padanya. Aku tak menyesal, Nathaniel. Aku tak menyesali perbuatanku. Adikku ketakutan melihatku yang seperti itu, tapi dia lebih banyak akal. Dia menyuruhku untuk segera pergi, melarikan diri ke penginapan milik keluargaku yang tak beroperasi lagi semenjak bencana alam menyapu bumi. Aku tak tahu apa yang dilakukan adikku setelah itu, tapi aku kabur sesuai arahannya."

Nathaniel tertegun mendengar cerita Claude. Dia menatap wajah pria itu yang dipenuhi keseriusan dan rasa kekecewaan yang besar. Seorang diri menghadapi kegilaan ayahnya ... siapa orang yang sanggup melewati hal itu?

Tanpa sadar, Nathaniel mengusap dahinya yang berkeringat. Udara di dalam ruangan ini dingin, tapi dia merasa pengap dan terbawa perasaan. "Jadi, kau akhirnya pergi ke penginapan itu dan tinggal di sana? Seorang diri dan tanpa persiapan apa pun?"

"Aku merampas semua botol serum yang mengerikan itu. Saat itu aku berpikir ... kalau ternyata Ayah masih selamat atau ibu punya nyali untuk melanjutkan kegiatan terkutuk itu, keberadaan serum itu akan membuat mereka makin tidak waras. Mungkin saja adikku bakal menjadi penelitian selanjutnya. Jadi, aku kabur bersama koper berisi serum. Selama enam bulan pertama tinggal di penginapan itu seorang diri. Saat itu wabah masih belum meledak hingga seperti ini, tapi aku nyaris tidak bisa menikmati masa-masa itu karena trauma yang mengerikan."

Nathaniel mengangguk memahami ceritanya. Dia menarik napas, bertanya lagi. "Tapi kau ... pada akhirnya membagi-bagi serum itu pada para penderita sepertimu, bukan?"

Claude terdiam lama. "Aku terpaksa melakukannya, Nathaniel."

"Kau bilang kau tidak setuju dengan gagasan jatuhnya korban yang sama sepertimu."

"Aku hanya tidak setuju bila orang-orang seperti kami dijadikan bahan percobaan keji seperti itu!" Claude membentak dengan nada jengkel. Nathaniel, untuk sejenak, merasakan udara di sekelilingnya memberat. Bahkan dalam jarak sejauh ini, aura monster yang sedang marah begitu terasa. Nathaniel berusaha mengendalikan diri.

"Baik, aku memahami perasaanmu. Sekarang, bisa kau ceritakan alasanmu sendiri tentang membagi-bagi serum itu?"

"Kupikir kau sudah mengetahuinya. Aku jelas membaginya karena aku tak bisa menghadapi wujud seperti ini seorang diri."

Nathaniel mendengkus, memijat pangkal hidungnya dengan jemu, "Bukankah itu membuktikan bahwa kau juga orang utama yang terlibat dalam propaganda mengerikan ini? Kaulah aktor utama yang mewujudkan mimpi ayahmu, Claude."

𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang