JUAN tidak bisa mengontrol segalanya, begitu juga masa depan. Tetapi Juan tak menyangka dunia yang kacau membelit takdirnya hingga harus memuntahkan dirinya di tempat ini. Tanpa keluarga dan abangnya, rasanya ada sesuatu yang terlepas dari tubuhnya―seperti kelupaan membawa ponsel atau memakai jam tangan. Dia merasa kosong dan terlucuti, padahal secara teknis barang-barang seperti itu tak berguna lagi.
Cengkramannya pada birai pagar besi di bibir bubungan atap menguat. Juan menarik napas dalam-dalam. Kabut menyelubungi kulitnya bagai sengatan es, mengendurkan pikirannya. Belakangan dia begitu lelah tetapi tak bisa tidur. Pikirannya tertambat pada orangtuanya yang sudah tiada dan nasib abangnya. Apa yang dia dapatkan dari penyesalan tak berarti ini? Mungkin Juan harus segera menyingkirkan harapan-harapan itu dari laci ingatannya, merelakan kepergian segalanya, menganggap bahwa River sudah ....
"Jadi siapa namanya?"
Tak terdengar langkah di belakangnya sampai suara tersebut membuatnya terkejut.
Juan menoleh cepat ke samping kiri, melihat Nathaniel―masih berseragam dan beratribut lengkap, setengah menyandarkan punggung pada pagar bubungan. Dagunya menunjuk pada Perry yang duduk di undakan tinggi beton di dekat pintu darurat. Anak itu sudah agak tenang, meringkuk menekuk lutut sambil memutar-mutar jarinya di permukaan beton, membentuk pola-pola dari debu.
"Perry," jawab Juan.
"Kau peduli sekali padanya."
Juan terdiam, sambil memandangi hamparan padang rumput dan hutan yang terlihat samar di lingkaran paling luar distrik. Selimut salju menipis tetapi kabut tetap tebal.
"Dia mirip aku saat masih kecil," jawab Juan.
"Jadi karena itulah kau kasihan padanya?"
Juan tak menjawab apa pun, jadi Nathaniel hanya menghela napas. Sesaat kemudian timbul suara keresak ketika prajurit tersebut merogoh sesuatu dari kantong celananya. Menyodorkan sebatang rokok yang masih terselip dalam bungkusnya pada Juan.
"Kau merokok?"
"Tidak," jawab Juan, kemudian dia terdiam sesaat sebelum kembali berceletuk, berpaling pada Nathaniel. "Kalian yang seharusnya bertanggung jawab, bukan?"
"Apa?" Nathaniel menaikkan alis keheranan selagi menyalakan ujung rokoknya dengan geretan.
"Kalian yang membunuh kakaknya."
Rokoknya tersulut di antara bibir Nathaniel yang berusaha bersikap tenang selagi angin bertiup-tiup kuat. Timbul keheningan dingin yang menyelimuti keduanya.
"Kalau kau berani berkata seperti itu padaku, seharusnya kau tahu apa yang kami lakukan ini menyelamatkan nyawa kalian semua," kata Nathaniel akhirnya, mengembuskan kepulan asap rokok.
"Tidak adakah cara―"
"Tidak ada," potong Nathaniel. "Tidak ada, Juan. Kau tahu tidak ada yang bisa kami lakukan lagi. Apakah kau pikir, setelah berbuat hal sekeji itu aku tak merasa jijik dengan diriku sendiri?"
Juan merasakan sentakan di perutnya, bukan karena mendengar fakta bahwa Nathaniel hafal namanya, melainkan karena ketidakberdayaan lain yang menyerang dirinya, seperti sirup kental yang dituang ke dalam tubuhnya―kesedihan itu mengisi rongga di dalam dirinya bersama ironi dan keputusasaan. Dia tak menjawab apa pun, dia tak bisa berpikir apa pun untuk menentang kejahatan itu.
Nathaniel meneruskan dengan pelan, suaranya seperti tercekat di antara tenggorokan dan rahangnya yang terkatup. "Aku juga melalui hal yang berat hingga sampai ke titik ini. Semua ini tak membuatku bahagia, tapi bukankah kita tak memiliki pilihan?"
Ketika Juan berpaling kepadanya, dia melihat penyesalan melumuri ekspresi Nathaniel. Tangan kiri prajurit itu merambat ke dadanya, meremas sesuatu di balik pilinan kerah seragamnya. Juan melihat sesuatu menyembul dari lipatan jarinya―berkilat ditempa sinar pagi. Apakah itu kalung?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Science Fiction] Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyerang North Carolina. Karena suatu peristiwa, River dan Juan...