EMBUSAN udara dingin menyengat wajah. Dia membuka mata, dan melihat seseorang yang dikenalnya tengah berdiri memunggunginya. Itu adalah ayahnya.
Dunia di sekelilingnya gelap total, kecuali seberkas cahaya menerangi tubuh ayahnya dari titik entah di atas, seakan-akan ada lampu besar yang menyorotnya seperti di panggung pertunjukan. Dia selalu akrab dengan punggung ayahnya yang dingin, walau memori itu kadang menggali keluar rasa sakit di benaknya. Sosok ayahnya bagai bayangan hantu yang melayang di kegelapan―jangkung dan agak membungkuk, tungkainya yang kurus menyatu rapat hingga sisi sepatunya bersentuhan. Dia ingin bertanya sesuatu, tapi tidak ada apa pun yang keluar ketika dirinya membuka mulut. Setelah beberapa saat disadari, ternyata dia tidak benar-benar ada di tempat ini. Hanya menyaksikan ayahnya dari kejauhan.
Kemudian, suara itu muncul. Berat dan tajam, bak derit kematian yang bergaung dari kedalaman tanah.
Ayahnya berkata, "Nak, kau adalah sebuah keajaiban."
Dia tak bisa menjawab apa pun, meski kenyataannya pernyataan itu memercik kemarahan dalam rongga Dadanya. Ayahnya yang tanpa mau repot berbalik badan ke arahnya, berkata lagi, "Menurutlah, Nak. Kemarilah. Bantu kami dengan keajaibanmu."
Tetapi, dia tak mau. Dia tak ingin melakukan hal itu lagi. Dia tak mau diselubungi luka dan rasa sakit yang menyiksa fisik dan mentalnya. Namun, ayahnya yang tak pernah sekalipun peduli kesehatannya, melanjutkan untuk terakhir kalinya, kali ini suaranya mendengung, seperti bising kaset rusak yang diputar, menusuk gendang telinganya bagai logam yang mengerik kaca, berteriak; "Sudah kubilang kau harus menurutku perkataanku!"
Teriakan itu menyentak Claude hingga terbangun.
Kepalanya terasa berat dan berkunang-kunang. Cahaya neon―nyala terang ruangan, terpapar di sekelilingnya sehingga dia merasa nyaris buta. Dia menengadah dan melihat, di antara suhu dingin ruangan yang merengkuh, dua sosok―dalam setelan putih; jas laboratorium dan celana putih―tengah memperhatikannya dari jarak beberapa meter. Claude harus bergeming sejenak sampai pandangannya jelas, kemudian wajah-wajah itu mengisi penglihatannya.
"Makhluk yang ini sudah sadar." Suara nyaring perempuan terlontar, teredam di balik masker yang dikenakan. Akan tetapi, Claude di dalam sana tak bisa mendengarnya. Tampaknya sekat kaca itu tak memberinya akses untuk mendengar apa pun yang diperbincangkan.
Yang lebih penting dari itu, di mana dirinya? Punggungnya terpapar di lantai―keras dan dingin. Claude mencoba bergerak, tetapi sekujur tubuhnya begitu lemah dan berat. Apakah dia baru saja dilumpuhkan? Hal terakhir yang diingatnya adalah tembakan suar di belantara hutan, kemudian desing tajam menghantam punggungnya, menyeretnya dalam kegelapan sementara yang tak asing. Lama waktu merenung membuatnya kian sadar di mana dirinya berada sekarang.
Sebuah suara berbisik itu mengeras, dari balik sekat kaca.
"Ya, dia merespons dengan baik," kata seorang pria sambil memperhatikan sebuah layar kecil dari peranti yang dipegangnya. "Suhu tubuh sudah menurun sejak perubahan awal, fungsi motorik normal. Secara keseluruhan dia mulai stabil, tetapi detak jantungnya meningkat sejak dia sadar. Apakah dia ketakutan?"
"Itu adalah respons waspada," sahut si perempuan.
"Benar, pasti kita adalah ancaman."
"Dia lebih menjadi ancaman bagi kita," kata si pria. "Bagi umat manusia."
Claude memperhatikan dua sosok itu berdiri jauh darinya. Seorang perempuan, dengan rambut hitam disanggul ketat di belakang kepalanya, mencatat sesuatu pada map yang dibawanya. Tatapannya naik-turun, menekuri Claude bagai spesimen percobaan dalam kandang, kemudian kembali pada catatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Science Fiction] Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyerang North Carolina. Karena suatu peristiwa, River dan Juan...