"PAMAN!"
River menyelinap di antara kerumunan pengungsi, menemukan dirinya melewati pintu tingkap dan melintasi lorong-lorong koridor. Dia memastikan tak salah mengenal rambut kain pel itu. River berseru lebih keras. Akhirnya pria itu berhenti dan berbalik.
Jarak dua meter tak pelak membuat kening si Paman berkerut mengingat rupa pemuda itu.
"Benar ... kau orang itu," kata River, terengah-engah. Wajah memancarkan keyakinan. "Kau orang yang membuat keributan di rumah kami beberapa waktu lalu."
Selang sekejap, timbul raut berpikir di wajah si pria. Perlahan-lahan, ekspresinya berubah tegang. Dia menelan ludah dengan gugup.
"Ternyata kau kemari juga, Nak," kata pria itu, berat dan parau.
"Ya, tidak kusangka bisa bertemu Paman di sini. Aku sudah berencana menusuk leher Paman dengan garpu―ingat apa yang kaulakukan pada kami tempo lalu? Kau hampir membunuh aku dan adikku."
Ketegangan dalam tubuhnya terpilin kuat.
"Nak, kau tahu itu adalah upayaku untuk melarikan diri. Aku tak punya maksud melukai. Kalian tampak seperti ancaman untuk anakku, jadi aku melakukannya."
"Upaya melarikan diri," ledek River dengan suara tenang, melangkahkan satu kaki mendekat. "Itulah yang mencegahku melakukan balas dendam padamu. Sekarang mari kita percepat saja. Aku lebih penasaran mengapa Paman bisa selamat dengan membawa monster itu."
"Clara. Namanya Clara."
"Jangan berpura-pura tidak mengerti maksudku," kata River dengan sopan, tapi sikapnya seperti seorang pria yang bersiap berkelahi. "Ada banyak yang ingin kutanyakan tentang cerita Paman. Segala hal yang terjadi malam itu, apakah Paman hanya terlalu stres sehingga mengarang sebuah cerita?"
"Aku tidak mengada-ada, Nak," jawabnya, sambil memundurkan badan ke belakang. Dengan nada permohonan dalam suaranya, gerakannya kaku dan wajahnya menampakkan getir pahit. "Aku mencapai tujuanku, tapi aku ...."
Sepelepasan napas diembuskan.
"Aku kehilangan anakku."
"Apa maksudnya ...?" Dahi River berkerut.
Paman itu menggelengkan kepalanya seolah tak ingin mengingatnya, lalu ekspresi sedihnya berubah menjadi sebentuk penyesalan yang meradang.
"Clara sudah meninggal." Dia berkata dengan merana.
Suara Claude yang memanggil di belakang River tahu-tahu terdengar.
River menoleh, disusul suara tapak yang lain―Gareth dan Isaac, yang mengikuti di belakangnya. Dia berpaling kembali ke paman itu.
Pria itu hanya menatapnya dengan ekspresi yang sama, tetapi ketika dia melihat barisan pemuda di belakang River, denyar matanya berubah, seakan ada sesuatu yang mempengaruhi pikirannya. Samar tersirat perasaan menggantung yang tak diketahui di wajahnya―seperti kelegaan, atau justu ketakutan, atau barangkali keduanya. River merasakan keganjilan itu berkembang di dadanya.
"Nak," kata paman itu, dalam dan juga parau, dengan nada menuntun yang lirih. "Clara tidak mampu melewatinya. Gadis itu terlalu muda dan rapuh. Aku tahu, seharusnya aku membawanya lebih cepat, tetapi ... tak ada yang bisa kulakukan lagi ... anak itu ... kini sudah pergi ...."
Paman itu menunduk dan mengusap wajahnya dengan satu tangan. Sejenak, rautnya terpilin antara hendak menangis dan bersikap tegar. Tetapi River merasakan sesuatu yang lain, mengeraskan hatinya. Dorongan untuk terus menggali tanpa menghiraukan raut putus asa Paman. Dia mendekat padanya dan hendak bertanya lebih lanjut, tetapi Claude meremas tangannya. Menyuruhnya untuk mundur.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Science Fiction] Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyerang North Carolina. Karena suatu peristiwa, River dan Juan...