Chapter 38: Specimen

841 246 26
                                    

BAU itu asam dan anyir, seperti campuran karat besi dan susu basi yang membanjiri seantero ruangan.

Terselimut dalam udara yang berat dan suhu yang tinggi, segala macam aroma kini menusuk hidungnya, menghimpitnya dalam kepekatan bau busuk dari darah dan daging yang terkoyak. Pendingin ruangan seakan tak ada fungsinya. Monitor di ruangan ayahnya juga tak tak memberi arti apa-apa.

Sendirian dan terkukung, Claude ingin menyerah, melepas segalanya dan terlelap selamanya di tempat ini. Di atas ranjang dingin yang keras dan padat, basah oleh air mata dan darah yang menggenangi sepreinya.

Asap mengepul pada tempat dimana tangannya dahulu berada, dan Claude merasakan kesakitan seperti tombak yang merajam dari balik kulit lengan atasnya yang melepuh dan terbakar. Dagingnya berdenyut, luar dan dalam, seperti sonik yang meletup-letup di antara nadinya yang terpotong, yang tiap ledakannya mengirimkan nanah panas bersamaan dengan jalinan otot baru yang tumbuh.

Hanya dalam beberapa menit, Claude bisa merasakan lengannya terbentuk lagi, mengerut dan menegang, memberi bentuk jari-jari dan kuku berwarna merah muda pucat. Pertumbuhan itu merupakan cara yang paling menyakitkan yang pernah dia rasakan seumur hidup. Dia berharap kesadaran meninggalkan jiwanya saat itu juga, agar tak perlu merasakan bagian ini.

Hidup dan mati. Hidup tapi tak mati. Ada berapakah kemungkinan mati yang dia miliki? Apakah bahkan mencapai sepuluh atau lima persennya? Claude pernah mendengar ayahnya berkata, yang mulanya dia pikir adalah lecutan satir dari hidupnya yang ironis dan nyaris tak terselamatkan, bahwa rupanya dia tak bisa mati lagi. Entah upaya itu dilakukan dengan menjatuhkan diri dari atas gedung, menghantamkan kepala ke kereta api, menenggak racun, atau memotong anggota tubuh, semua itu tak mengurangi umurnya. Kau hanya akan terbius sejenak, Claude. Melayang-layang bagai kehilangan gravitasi di antara batas kesadaranmu dan dunia yang membara. Kau nyata dan hidup kembali. Kau tak bisa mati. Kau adalah keajaiban.

Aku bukanlah keajaiban, kata Claude pada ayahnya. Kata-kata itu dia lontarkan tanpa sebab yang jelas, barangkali dia sebenarnya tahu dia telah berubah dan hanya tak mau menerima gagasan itu.

Dia bukanlah manusia lagi, terutama sejak cairan virus itu masuk ke dalam tubuhnya dan menyingkirkan apa pun yang melekat darinya sejak lahir.

Tubuhnya kini laksana botol kosong, dan cairan yang disuntikkan itu melalap habis pikirannya, menggantinya dengan kebuasan yang tak pernah terpikir sebelumnya.

Claude masih ingat, di suatu lapisan malam ketika dirinya sadar dan terjaga, ayahnya bercerita lewat pengeras suara di sudut kamarnya, bahwa sebelum aerosol bius ditembakkan untuk melumpuhkannya, Claude bertingkah gila, seperti harimau sinting yang terkekang. Dia menghancurkan apa pun dengan cakar-cakarnya yang melengkung panjang, menghunus apa pun dengan gigi-giginya yang setajam pisau, dan matanya berubah menjadi sebiru laut. Dalam dan dingin, seperti hiu yang tak berperasaan.

"Apa yang akan terjadi selanjutnya?" Claude bertanya kala itu, dalam keadaan setengah sadar di atas kasur. Ayahnya menemani dari balik pengeras suara yang terpasang di sudut ruangan. Claude menginginkan ayahnya hadir menemani di sisinya, menggengam tangannya untuk menghiburnya. Namun, semenjak disuntikkan oleh virus itu, Claude tak pernah melihat keluarganya masuk ke kamarnya untuk bertandang. Bahkan untuk makanan, dia hanya menerima semuanya dari lubang yang disediakan di dinding.

"Apa maksudmu, Claude?" Ayahnya bertanya.

"Semua kegilaan yang kualami ini... berarti aku sudah berubah menjadi monster, bukan?"

Jeda sejenak. "Ya."

"Ayah bilang aku akan sembuh lewat serum obat yang kausuntikkan," kata Claude dengan lirih. Otaknya kembali membayangkan malam tatkala dia mulai mengalami gejala pertama dan ayahnya kembali datang padanya untuk menyuntiknya dengan cairan serum yang baru.

𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang