ADA keputusasaan yang berderik dalam dada River ketika dia mendengar perkataan Nathaniel.
Semuanya kini terlihat jelas. Benang merah itu. Kata-kata orang asing yang mereka temui kemarin malam bukanlah omongan ngawur orang depresi. Sialan, seharusnya River menyadari itu sejak awal. Seharusnya dia tidak meninggalkan hati dan pikirannya di masa lalu yang masih menganggap dunia ini belum sehancur dan sekejam sekarang.
Orang-orang dibunuh tanpa belas kasihan. Itulah kenyataannya, dan tak ada celah keraguan dari tindakan itu. Memang apa lagi yang bisa pasukan negara lakukan kalau seluruh pemimpin di negeri ini telah melarikan diri? Misi penyelamatan adalah menampung yang bersih dan membasmi yang terinfesi, bukan menyembuhkan yang tertular.
River menunduk dan berpikir, merasa merana dan tercengang. Ya Tuhan. Peluru di mana-mana. Bau kematian. Mimpi buruk di siang bolong.
Ibunya sebentar lagi akan menjadi korban berikutnya.
"Nath," kata River, yang memasang tampang kebingungan. Pikirannya kacau. "Tu―turunkan aku."
"Apa? Kau mau apa?"
River bangkit dengan tergesa. Dia menghalang Nathaniel dan mencoba meraih M16 yang dibaringkan di sebelah tentara itu. Kata Nathaniel, dengan agak marah, "Berhenti―sialan. Apa-apaan tingkahmu ini?"
"Aku harus kembali," kata River, yang berupa bisikan-bisikan keraguan. Dia tidak yakin apakah ini yang terbaik, tetapi membayangkan Ibu menjadi korban berikutnya bukanlah bagian dari rencana. "Aku harus kembali ... Ibu harus kubawa pergi ...."
"Kau ini gila, ya? Hentikan semua ini!"
Nathaniel menyentak lengan River yang hendak merebut M16, mencoba menahan dengan memegangi bahunya. River melawan tidak terima, dia makin brutal dan malah meraih kerah seragam Nathaniel. Berteriak di mukanya. "Lepaskan aku! Kembalikan senjataku!"
Gaduh mulai terdengar. Semua orang menoleh ke sumber pertengkaran. Anak-anak kecil yang duduk beberapa baris di depan memasang tampang melongo, sebagian terlihat ketakutan, dan mereka semua berpegangan tangan. Dua orang tentara yang berdiri di pilar besi di dekat bangku supir mulai tersulut penasaran.
"Hei, ada apa di belakang sana?" teriak salah seorang tentara.
Sepasang kaki yang berderap di lantai bus tak pelak merubah sikap River yang masih diliputi panik dan amarah. Dia bahkan tak sadar ketika suara komandan pasukan yang mengerikan itu terdengar lagi. "Bocah tengik, apa yang kaulakukan?"
"Dia mau merebut senapannya lagi," gerutu Nathaniel, berjuang memegangi River yang meronta-ronta.
"Lepaskan aku! Aku harus pergi dari sini!"
River merasakan tenggorokannya sakit karena belum minum dan terus berteriak. Dia menatap mata komandan tentara, yang dipenuhi kekejaman dan kemuraman. Tak ada apa-apa di dalam sana kecuali nafsu membunuh. "Kalian keparat! Kenapa kalian membunuh orang-orang yang tak berdosa?"
Mata Zurich berkilat dengan kemarahan saat River menyemburkan kata-kata itu tepat di mukanya. Semua orang di dalam bus tak mengeluarkan sedikitpun kata-kata, tetapi mimik wajah beberapa orang seperti terhenyak. Bibir Zurich berkerut tidak suka, dan sebelum River sempat berpikir, dia melihat bayangan laras pistol pendek dikeluarkan oleh pria itu dengan sangat cepat. Terdengar suara benturan diiringi pekikan terkejut anak-anak. River merasakan sisi kepalanya dihajar dengan popor pistol, lalu tubuhnya jatuh terjengkang ke belakang.
Seketika kesadarannya terseret dalam kegelapan.
"Anak kurang ajar," desis Zurich, melirik menghina pada River yang terkapar di lantai bus.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction🏅 PEMENANG WATTYS 2021 KATEGORI SCIENCE FICTION ⭐ TERSEDIA LENGKAP BAIK DI WATTPAD MAUPUN DI KARYAKARSA ⭐ Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyera...