Chapter 20: Forbs

1.4K 368 74
                                    

KETERKEJUTAN itu membelah dadanya bagai belati tajam, dan meremuk jantungnya bagai sepatu yang menginjak kecoak, ketika Juan menyadari―hanya beberapa detik setelah melakukannya, bahwa dia telah menghabisi nyawa ibunya.

Juan hanya bergeming di depan pintu, terduduk lemas tanpa tenaga, dengan tatapan gentar terpaku pada mayat perempuan yang tergolek pada posisi ganjil, bagai boneka kayu yang patah. Dia tak kuasa memberi akses pada dirinya untuk berpikir serius, sebab jeritan yang merobek udara itu terus terngiang dalam benaknya―jeritan terakhir Ibu ketika kepalanya meledak oleh peluru panas, mengitari labirin ingatannya hingga membuatnya gila.

Apa yang sudah dia lakukan? Tangannya masih gemetar di samping kakinya yang terlipat, sementara pistolnya terguling lepas dari belitan jarinya, mengepulkan asap tipis dari lubang moncongnya yang kecil. Bukan peluru yang menghabisi nyawa ibunya, tetapi Juan. Malaikat maut yang lahir dari darah biologis ibunya. Anak kandungnya. Kesadarannya adalah ikatan tipis di antara pelatuk dan telunjuknya, yang menarik lepas nyawa ibu dari raganya.

Juan membunuh ibunya ... dengan tangannya sendiri.

Desing peluru itu menjadi sinyal pemanggil bagi Euros saat dia masih berada di kamar atas, yang kemudian tergesa-gesa menuruni bordes-bordes tangga dan menjeblak kamar.

Euros melihat lukisan neraka di depannya; api menari melalap ubin lantai dan mencapai dinding ruangan, selagi asap mengepul tebal dari kayu-kayu yang lapuk dan gosong. Mayat perempuan dengan separuh wajah melepuh terkapar di sudut ruangan yang terbakar. Darah mengucur dari lubang di kepalanya seperti oli yang pekat. Sementara Juan―bergeming di depan pintu―meratap dalam kepedihan dunianya. Tak bisa diganggu, bahkan ketika derum kendaraan besar samar terdengar dari luar rumah menghentak kesadaran dalam diri Euros, Juan menjadi satu-satunya yang masih kosong dan melamun.

Diiringi denyut jantung yang berpacu cepat, Euros mendekat pada jendela yang terletak paling dekat dengannya. Menyibak tirainya kuat-kuat.

Sorot lampu kuning benderang di tengah kepadatan warna kelabu sisa badai salju, menerobos melalui celah di antara jeruji pagar halaman yang tinggi.

Tentara pengawas? Dia membenak dalam otaknya. Derum kendaraan itu bergaung memecah derik api di dalam kamar, menyamarkan bunyi keletik mengerikan yang membakar ruangan. Euros bergegas menghampiri Juan, berlutut di depannya, lalu mengguncang tubuhnya.

"Juan! JUAN!"

"SALVADORE JUAN!"

Euros mencengkeram lengan Juan dan langsung menariknya agar bangkit. Menampar pipi anak itu dengan keras. "Sialan! Sadarlah Juan! INI SEMUA BUKAN SALAHMU!"

Kesadaran kecil dalam diri Juan menangkapnya. Dia mengejapkan mata. Ada kesedihan nyata terpancar dari sorotnya yang berkaca-kaca. "Euros ....," dia merengek lirih. "Euros, kenapa aku membunuhnya?"

"Juan, kita tidak punya waktu. Para tentara sudah datang!"

Euros setengah menyeret Juan dari ruangan itu. Tidak ada waktu lagi, pikirnya. Rumah ini akan terbakar. Rintik-rintik api menyentuh panel-panel kayu di dinding, memancarkan sinar oranye terang yang panas dan membara. Euros menarik Juan menjauhi pintu dan menghampiri jendela. Ditendangnya daun jendela sampai terbuka, membuat gerendelnya patah. Euros melompat dari sisi jendela, melepas pegangannya pada Juan. Dia berguling-guling di salju, merasakan udara yang lembab dan dingin untuk pertama kalinya.

"Juan, cepat kemari! Bantuan sudah datang!"

Api mengamuk lebih liar. Tirai-tirai mendesis dimakan kobaran api, sementara asap menutupi langit-langit. Ketika langit-langit di atas ranjang ibunya runtuh, Juan melompat keluar. Dia melihat serpihan kayu dan abu perak berguguran di belakangnya. Euros menyambar lengannya―setengah menyeret―melewati pintu belakang dan menyusuri halaman gelap yang berpendar akibat refleksi api.

𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang