DI titik mana pun dalam hidupnya yang sengsara, Claude tak pernah lupa bagaimana awal mula percobaan dua tahun lalu membangkitkan kebencian pada keluarganya, terutama ayah dan ibunya.
Ingatan itu membelenggu isi kepalanya bagai daging yang diperas garpu. Dia masih ingat, di larut malam, ketika pintu kamarnya yang terkunci dibuka dari luar oleh seseorang. Suara kelepak sepatu yang menginjak karpet mendekat ke ranjangnya, lantas Claude melihat ibunya, menjulang memandanginya dari atas dengan sorot bergetar.
"Claude, cepat bangunlah!" kata ibunya, bergegas membangunkan Claude. Wajah ibunya tirus dan pucat, bercahaya di bawah sinar bulan dari balik kerai jendela. Sementara itu, putranya tak merasa punya hak untuk berkata apa dan mengapa, sebab kegentaran yang tersirat dalam wajah ibunya membungkamnya.
"Kubilang cepat!"
Ibunya membentak dari sela-sela rahang yang terkatup.
Claude mendongak dengan geletar agak panik, bermata cekung yang dipenuhi rasa sakit dan pegal-pegal di seluruh sendinya. Dia lantas bangkit dengan terburu-buru. Tak sedikit pun ibunya mengulurkan tangan untuk membantunya turun dari ranjang, atau memberinya waktu untuk berganti piyama atau memakai alas kaki.
"Ikut aku dan jangan berkata apa-apa," kata ibunya dengan nada tercekat.
Koridor di dalam rumah Claude sangat lebar dan mewah, diisi oleh benda-benda aertefak seperti patung dan lukisan-lukisan antik. Panel kayu mahoni gelap melapisi dinding bagian atas yang berpelitur rumit dan dicat emas, memancarkan kesan zaman Victoria, yang megah namun tua. Mereka turun melewati bordes-bordes tangga melingkar, dan saat mencapai lantai dasar, ada sekat yang terbuka pada dinding jalan buntu. Ibunya menggeser sekat tersebut sehingga tampak sebuah pintu kecil menuju undakan curam ruang bawah tanah, berupa lorong sempit yang diterangi lampu minyak pada sisi dindingnya.
Claude harus berhati-hati ketika meniti anak tangga yang lembab dan licin. Dia merasa pusing, nyeri, dan matanya menyala pucat karena demam. Penyakit kanker yang dideritanya masih terus menggerogoti, akhir-akhir ini makin parah―membuat rambutnya rontok dan berat badannya anjlok. Kalau salah fokus saja, bisa-bisa Claude terpeleset dan terjungkir ke bawah. Nahasnya, di balik ironi itu, punggung ibunya yang berjalan di depan begitu dingin dan tegar. Wanita itu tak sekalipun menoleh, pun memberi pesan untuk berjalan hati-hati. Tetapi saat suara yang ditunggu-tunggu muncul, Claude mengernyitkan dahi tidak mengerti.
"Ayahmu sudah menemukannya," kata sang ibu, tajam dan jelas. "Kau mungkin harus tinggal selama beberapa waktu di sini. Ibu akan membawakan segala keperluanmu mulai besok."
Claude menahan diri untuk bertanya, bukan karena merasa segan, namun dia kesulitan memusatkan koordinasi geraknya bersama aliran napas kelelahan dan suaranya. Kesempatan ini berlalu begitu mereka mencapai lantai paling dasar. Di ujung tangga, ada sebuah pintu baja yang berdiri suram, namun kokoh. Ibunya menekan kombinasi angka pada panel kecil di samping pintu, kemudian dengung mekanis mesin terdengar bersamaan dengan pintu yang menggeser terbuka.
Sebuah ruangan luas yang bersekat-sekat, dengan lantai berubin, dinding-dinding berwarna abu-abu dengan banyak peralatan medis yang disimpan dalam rak-rak kaca. Lampu-lampu pijar berdengung di atas kepala. Sebuah meja operasi berada di dinding belakang, masing-masing dilengkapi dengan pipa-pipa plastik yang tersambung pada tabung dan sebuah mesin besar di sisi ruangan, dengan banyak tombol pada panel yang berkelip-kelip. Udara dari pendingin ruangan membekukannya, namun yang menjadi kegentaran Claude bukan hanya betapa dingin dan sunyinya ruangan itu, melainkan alasan mengapa dia dituntun kemari.
Ayahnya sudah memakai ruang penelitian ini selama beberapa dekade, konon katanya semua yang ada di sini adalah warisan dari keluarganya terdahulu, dan mendapat perombakan selama beberapa kali untuk mengikuti kedinamisan zaman. Setelah bencana mengentak bumi dan memporak-porandakan makhluknya dalam serangan virus tak wajar, kini ayahnya bekerja dua kali lebih keras untuk meneliti virus itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/189972132-288-k684858.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction🏅 PEMENANG WATTYS 2021 KATEGORI SCIENCE FICTION ⭐ TERSEDIA LENGKAP BAIK DI WATTPAD MAUPUN DI KARYAKARSA ⭐ Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyera...