Chapter 18: Encounter

1.7K 397 80
                                    

SIAPA pun barangkali mengira tempat ini adalah sebuah gedung bekas.

River mencium bau terlantar di tempat itu, seperti pesing dan tahi binatang yang samar tercampur aroma susu basi dan apak lumut. Rongsokan perabotan ditimbun di sudut ruangan, Kayu-kayu dari mebel yang dipreteli menutup jendela-jendela dan menyisakan lubang sempit untuk sirkulasi udara. Lukisan-lukisan yang menghitam dan menua tergantung miring, memenuhi dinding bagai bangkai bangunan yang layu dan lembab.

Kata Claude, tempat ini dulunya adalah sebuah penginapan yang berhenti beroperasi semenjak bencana alam mengamuk, yang kini menjadi tempat singgah bagi orang-orang yang kehilangan arah dan tujuan. Mereka sudah ada di sini bahkan sebelum wabah itu menyebar, saling mengobati dan memberi semangat, membentuk kelompok besar yang membagi para pengungsi ke dalam tugas-tugas rumah tangga.

"Tidak ada yang tidak betah di tempat ini," kata Claude, yang menelisik raut bertanya-tanya River. "Semua fasilitas, walau terkesan seadanya, tapi kami sanggup mencukupinya."

Duduk di kasur rawatnya, River sesekali berjengit menahan sakit ketika Claude membuka perban di pergelangan kakinya. Dia sudah jauh lebih pulih sehingga pagi ini mulai diperbolehkan keluar. Bengkak di kakinya, bagian yang paling parah, kini hanya berupa lebam berwarna merah, disertai luka lecet yang hampir mengering.

"Alih-alih betah, mungkin ini lebih mirip seperti kehidupan yang dipaksakan." Dia menjawab terus terang, pandangan menunduk, memperhatikan bagaimana pria ini merawat lukanya.

Ujung bibir Claude naik sedikit. "Aku tahu. Aku hanya membuat agar terlihat baik di matamu."

"Kekacauan ini tidak bisa memberi kita pandangan yang lebih baik, Claude," kata River mendengus kecil. "Kita hanya tidak punya pilihan selain bertahan hidup di tengah serangan wabah."

Claude bergeming sebentar, selagi menatap River, kemudian dia menghela napas. "Kau tidak seperti anak kecil yang mudah dibohongi," katanya.

"Memangnya siapa yang masih kecil?"

"Boneka itu," kata Claude santai, menunjuk boneka kelinci di belakang bantal River. Parasnya tercabik antara geli dan mengejek. "Tidak mungkin pria dewasa sepertimu keluyuran sambil membawa boneka kelinci di dalam tas. Menggelikan sekali. Antara kau yang kekanak-kanakan atau boneka itu sangat berarti untukmu?"

Namanya Judy, batin River. Tahu-tahu dia mengingat bagaimana ekspresi jengkel Juan ketika memberitahukan nama boneka itu kepadanya. Namanya Judy. Jangan sebut boneka lusuh. Ini kucuci setiap minggu, kok!

"Opsi kedua," kata River. Lalu, dia menyambar boneka itu dan menjejalkannya kembali ke dalam tas ranselnya, yang tak terkesan rapi sebab tasnya sendiri sudah sobek di mana-mana. Claude bilang, ketika dia menemukannya, isi tasnya sudah berhamburan dan sebagian besar peluru M16-nya lenyap disapu gelombang salju. Untung saja senapan kesayangannya itu tidak patah. Itu adalah peninggalan dari ayah.

"Aku melihatmu setiap malam," kata Claude. "Kau tidur sambil memeluk boneka itu."

River yang sedikit tersulut―barangkali karena malu disangka anak manja, tak sadar membalas, "Bukan urusanmu, Claude."

"Ha. Kejam sekali," kata Claude, lalu dengan sedikit niat menekan pergelangan kaki River. Anak itu melonjak kaget, lantas mengaduh kesakitan sambil memegangi betisnya. "Aduh, maaf, tanganku licin," katanya enteng, dengan wajah hambar, dia tampak melakukannya dengan sengaja.

Sialan, rutuk River membatin, kalau bukan karena alasan Claude yang telah menyelamatkannya, orang ini mungkin sudah dia hajar sampai mampus.

Lama mereka tenggelam dalam kesibukan pikirannya, Claude mengeluarkan sebuah stoples kecil dari kotak pertolongan pertama. Dia membuka tutup wadahnya dan aroma menyengat obat langsung menusuk hidung. Claude mencelupkan dua jarinya dalam stoples, melapisi kulit memar di kaki River. Rasa nyeri dan panasnya berangsur lenyap, terganti dengan sensasi sejuk menenangkan.

𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang