Chapter 16: Despair

1.7K 410 88
                                    

KEGELAPAN membayang, mendominasi petak-petak ruangan di dalam rumah dalam sepuhan sinar lilin-lilin. Juan mendongak memandang langit yang tebal dari balik jendela. Ketika suara Euros yang menyerukan namanya terdengar, dia berpaling ke belakang.

"Kau melihatnya?" Euros bertanya lirih.

Juan menggeleng. Dia menjauh dari jendela dan bergerak menghampiri Euros yang duduk di sofa sambil membaca buku dalam pendar cahaya minim.

"Ini sudah malam sekali, kenapa River belum datang?"

Selepas mengempaskan diri di dekat Euros, Juan menghela napas. Sudah berapa kali orang ini bertanya kapan kakaknya kembali?

"Aku tak tahu ke mana dia pergi, tetapi mungkin dia masih dalam perjalanan pulang." Terselip nada kesal dalam suaranya.

"Sejak pagi tadi?" Euros menaikkan alisnya. Menutup buku dan melemparkan dengan sembrono di atas meja. "Apa bahkan dia mampu berjalan jauh di tengah salju begini? Memang sejauh mana dia pergi sampai membutuhkan waktu lama mencapai rumah?"

"Euros, tolong diam. Kalau kau tak bisa seberani dirinya, jangan bersikap remeh kepadanya."

"Aku tak meremehkannya, Juan." Anak itu melihat ke dalam matanya yang merah dan berkaca-kaca, lalu berkata murung, "Aku ... hanya mencemaskannya. Kau tahu, bagaimana kalau seandainya River tidak muncul sampai besok dan kita tak punya rencana apa-apa untuk ...."

"Kita akan pergi sendiri. Kita akan menyusul River kalau dia tidak muncul sampai besok," timpa Juan. Dahinya mengernyit, menatap Euros dengan agak kesal. "Dan kupikir kau mencemaskannya sebagai teman, ternyata aku keliru. Sepertinya mustahil sekali membuatmu sadar bahwa pengorbanan River tidak cukup bahkan bila kita membayarnya dengan nyawa."

"Juan," kata Euros.

Juan menilik jengkel pada tatapan Euros yang sarat gelisah dan bingung.

Euros akhirnya mendengus lelah. "Baik. Percuma. Kau akan tetap menyalahkanku, bahkan menuduhku kalau aku tak peduli dengan River."

Keadaan sunyi sejenak. Kemudian, seperti mengingat sesuatu, Juan tergerak sedikit dari duduknya. Dia menegakkan tubuh dan merogoh sesuatu dari balik saku celananya.

"Sejujurnya agak tidak adil kalau aku terus-terusan menyalahkanmu," kata Juan dengan nada melunak, sementara Euros menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. "Emosi kita adalah bentuk kemarahan dari pikiran yang lelah dan kacau. Aku tahu, aku seharusnya tak menyerangmu terus. Maafkan aku. Omong-omong, ini, kukembalikan."

Dia meletakkan sebuah pistol di atas meja. Senjata satu-satunya milik Euros yang dulu pernah disita selama dia menjadi tawanan. Juan memutuskan untuk memberikan lagi kepada Euros. Dan, kini, pria itu merasakan sentakan kerinduan dalam perutnya. Seakan dia menemukan lagi teman lamanya, disambarnya pistol itu dan membelai larasnya yang berkilau.

"Jangan membunuh siapa pun dengan benda itu," kata Juan pelan. "Kecuali monster."

Selagi menghitung isi peluru di dalamnya, Euros berpikir seraya membasahi bibirnya. Membayangkan keadaan Ibu Juan yang menyentuh potensi berbahaya, tampaknya hal itu agak mustahil dilakukan, kecuali dia menjaga jarak dengan pintu kamarnya sampai bantuan datang. Dia mencemaskan hal itu, lalu tiba-tiba kepikiran Juan. Sebagai anak satu-satunya, mungkin Juan adalah target yang lengah sebab dia sering kali bolak-balik kamar untuk mengantar makanan.

"Kau juga harus membawa pistol," kata Euros kepada Juan, lebih seperti perintah daripada nasihat.

"Mm-hm. Itu masalah gampang."

"Aku serius. Kau tidak tahu bahaya seperti apa yang sedang mengintaimu di rumah ini." Euros menegaskan, mengawasi Juan seakan tengah mengirimkan pesan rahasia. Kau pasti tahu, Juan. Orang itu tidur satu atap bersama kita selama ini.

𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang