KAMAR itu terlihat, kalaupun bisa dengan pencahayaan yang minim, lebih lembab dan lebih suram dari biasanya. Berkas sinar yang berkabut memancar lemah dari celah di sisi ruangan yang dibiarkan tak tertutup, memperkuat suasana hampir monokrom yang sunyi dan membekukan. River duduk di tepi tempat tidur seorang diri sambil menyandarkan kedua siku pada lutut-lututnya. Suara gesekan kuku-kukunya yang sedang mengelupas kutikula di ujung jari beradu dengan suara napasnya yang pelan dan dalam.
Dia tak ingat pernah merasa begitu terancam seperti ini, terlebih lagi, walau kemunculan awal wabah ini dahulu mengisi sebagian kecemasannya dan membuatnya tidak bisa tidur selama berhari-hari, apa yang kini dilaluinya rasanya sudah di ambang batas ketakutan, sampai pada titik dia mungkin tak punya celah untuk kabur. Apa yang harus dilakukannya? Dikelilingi para monster yang bersembunyi di balik kulit manusia membuat nadinya mengejang takut, membuatnya sesak dan tercekik. Bagaimana bila orang-orang ini berubah menjadi monster dan memangsanya? River pernah melihat kekejaman makhluk itu secara nyata, bagaimana gigi-gigi tajam dan cakar-cakar melengkung mereka mengoyak daging pada leher, mencongkel mata, menusuk perut dan memburai usus manusia.
Gambar pedih itu menikam dadanya dengan rasa panik yang mengerikan. Apakah dia benar-benar akan dibunuh? Apakah ini yang dimaksud Claude ketika dia berseru enteng perihal akan membereskannya? Dilanda rasa takut dan tak berdaya yang mengguncang, River gemetaran di sekujur tubuh. Kakinya dihentak-hentakkan cemas pada karpet di bawah, sementara keringat mengucur deras dari punggung di balik pakaian.
Dia mencabuti kutikula dengan gelisah, sampai, pada kali terakhir, menarik kulitnya terlalu kasar hingga menyebabkan luka. Sebutir darah menyembul keluar dari sela di kukunya, secara spontan membuatnya buru-buru mengisap ujung jari.
Tepat ketika rasa anyir besi merebak di mulutnya, keriat pintu yang dibuka dari sisi ruangan membuatnya menoleh dengan cepat.
Isaac, dengan pakaian berburunya―jaket parka tebal yang dipadu dengan rompi golf―muncul dari ambang pintu, maju ke nakas di dekat tempat tidur dan membuka lacinya, lalu menarik keluar sebuah pistol dan menyelipkannya ke celana. Dia melihat sebentar pada River.
"Hei, ada apa? Kau merasa sakit, Kawan?"
River menggeleng, yang tidak disadarinya, terlalu kasar dan berkesan melawan. Dia berpaling cepat dan berusaha mengontrol dirinya. Disambarnya sepasang sepatu di bawah kolong tempat tidur dan buru-buru dipakai. Dia harus tampak sibuk sehingga Isaac tak bisa melihat ketakutan di matanya.
"River, mengapa kau diam saja?" tanya Isaac, kali ini dengan nada agak khawatir. "Lukamu sakit lagi? Kau mau istirahat saja di sini?"
"Tidak," tukas River, selagi mengikat tali sepatunya, kali ini dengan gerakan agak dilambatkan. Dia menarik napas dalam-dalam tepat ketika mendengar langkah Isaac, dalam derap sepatu berburunya, mendekat.
Ketegangan merayap menghampirinya, seolah ada malapetaka yang datang ... apa Isaac akan menyergapnya? Apa yang akan dia lakukan setelah ini? River menahan napas tatkala melihat tangan Isaac terulur di dekatnya....
... memberinya plester luka.
"Jarimu berdarah, tuh. Pakai ini."
Mendongak dan melihat raut Isaac, River menilai dari caranya memandang tanpa minat. Mungkin dirinya hanya terlalu cemas, tapi ... rasa itu sepadan dengan keberadaannya yang terancam di sini, bukan?
"Terima kasih." River mengambil plesternya, membalut luka di jari dan mengabaikan darah yang membekas di kasa plester.
"Kalau sudah siap, kita berangkat. Claude dan Gareth menunggu di bawah," kata Isaac, berbalik dan pergi menuju pintu. Dia berhenti di ambang karena mengingat sesuatu untuk dikatakan. "Ah, River, jangan lupa bawa senjatamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Science Fiction] Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyerang North Carolina. Karena suatu peristiwa, River dan Juan...