JUAN tengah berada di dalam pusat kesehatan ketika alarm itu berbunyi.
Seketika segalanya berlangsung cepat. Dia menegakkan punggung ketika seorang prajurit masuk ke ruangan dan menyuruh semua yang ada di dalam untuk segera keluar.
"Lari ke pintu evakuasi!" katanya dengan tampang tegang, sementara dua orang yang berada di dalam―seorang dokter dan seorang pengungsi yang lengannya baru diperban karena tergores paku langsung bergegas pergi. Prajurit itu menghampiri Juan yang sedang memasangkan kaos kaki pada Perry.
"Cepat keluar menuju hanggar," desisnya. Matanya diselimuti resah.
Juan buru-buru menggendong Perry dan langsung keluar, menghambur dan bergabung bersama rombongan lainnya di luar pusat kesehatan. Lampu darurat berkedip menyala di atas, selagi mereka melangkah dalam langkah kecil-kecil karena lorong sungguh penuh dan sesak. Sesekali leher Juan terjulur di antara kerumunan. Mencari Euros dan Wayne.
"Kita mau ke mana?" Perry sedikit mencicit, diliputi panik dan bingung. Prajurit di belakang mereka memberi arahan untuk menuruni tangga menuju hanggar, yang katanya adalah ruang perlindungan. Perlindungan dari apa?
"Ikuti saja, oke? Aku juga tidak tahu." Juan mendesah kecil. Wajah-wajah di sekelilingnya suram dan tegang. Suara-suara ditelan oleh gema alarm dan derap langkah panik. Mereka berbelok di sudut, menuruni tangga, masuk ke lorong lagi, lalu muncul di sebuah ruangan seluas gimnasium sekolah. Semua orang berkumpul di sana. Para prajurit berbaris mengelilingi ruangan membentuk perisai manusia, dan kenyataan ini membuat Juan lebih cemas. Apa yang sedang terjadi?
Sementara alarm masih bergaung, Perry di gendongannya mencicit. "Juan, apa sekarang saatnya?" terisak-isak. "Sekarang saatnya kita semua mati?"
"Tidak, jangan berpikir begitu," kata Juan, mengusap air mata yang melelehi pipi Perry yang tirus. Dia menyelinap di antara para pengungsi yang memasang tampang ketakutan sambil bergumam permisi dan memohon maaf. Beberapa dari mereka duduk meringkuk di sudut-sudut ruangan sambil berdoa, ada kelompok gadis yang menangis sambil menggenggam tangan satu sama lain. Juan hanya ingin satu. Euros dan Wayne. Di manakah mereka?
"Juan?"
Dia terdiam, rasanya seperti tak sanggup bernapas.
Jangan terluka, River. Janji kepadaku.
Juan dengan ragu menoleh ke belakang.
Kau harus kembali.
"Juan Salvadore."
Ada sebongkah batu besar yang mengganjal kerongkongan Juan saat itu juga, membuatnya sesak dan tak bisa menelan.
Apa orang ini benar-benar nyata? Pertama kalinya dia terpaku begitu lama saat melihat abangnya berdiri di hadapannya. Seolah ini semua mimpi. Keindahan fatamorgana yang menyihirnya sebelum neraka dunia menghabisi.
Janjinya yang ditepati.
"River." Juan tercekat, mendekat namun tak menghambur memeluknya. Dia terlalu terkejut dan heran. River berpakaian begitu normal, tidak compang-comping atau mengenakan sesuatu yang kusut dan kotor sebagai tanda sudah berminggu-minggu tidak ketemu.
"Sudah lama, Juan."
Lalu sesaat Juan mengira abangnya akan menyergapnya, rupanya River menghambur memeluknya. Juan merasakan rengkuhannya yang kuat dan sehat. Bau tubuh River seperti kayu di hutan dan pakaiannya terasa agak lengas. Ini adalah abangnya yang asli, yang kini membenamkan wajah pada ceruk leher Juan dan menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Napas dari mulutnya panas ketika menyentuh kulitnya yang dingin.
Tiba-tiba semuanya terasa berat, terlalu berat untuk dipikul.
"Bedebah keparat, kenapa baru datang sekarang?" Juan berdesis di antara gigi-giginya, mengeratkan pelukannya. Air mata menggenangi matanya tetapi dia membentak, "Kukira kau sudah mati, berengsek!"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Science Fiction] Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyerang North Carolina. Karena suatu peristiwa, River dan Juan...