Chapter 6: Hopes

2K 504 63
                                    

DALAM kegelapan serta kepekatan udara dingin yang memeluk tubuhnya, yang perlu dilakukannya hanyalah menunggu.

Dia sudah berada di tempat itu selama hampir tiga jam. Dikelilingi perkakas-perkakas usang yang jungkir balik di sekitarnya. Coretan-coretan di tembok. Debu-debu serta tahi tikus yang menempati setiap sudut lantai, birai-birai jendela yang patah, serta rak-rak yang lapuk. Kehancuran serupa dari apa yang pernah dia bayangkan tentang bangunan terlantar. Tempat ini nyaman meskipun baunya menjijikkan. Tetapi setidaknya, jauh dari sarang kekacauan. Sekarang dia hanya perlu menunggu saja.

Menunggu sampai kapan?

Pertanyaan itu bergaung di balik tempurung kepalanya hingga dia merasa mati rasa. Terluka, hilang arah, sebatang kara. Tak bisa menghindari kenyataan bahwa hidupnya berubah untuk selamanya. Tak ada seorang pun yang tersisa untuk peduli. Tak ada kepastian apakah dia akan selamatkan. Para tentara mungkin akan membunuhnya saat dia ditemukan. Sebab dia telah jadi buronan. Identitasnya tercemar karena suatu kesalahpahaman yang terjadi.

Dia meringkuk di sudut, menenggelamkan wajahnya pada perpotongan lutut. Terisak tanpa suara. Jauh lebih merana dari awal saat dia menginjakkan kaki di ruangan ini. Semua ini membuatnya mengantuk dengan cara yang melelahkan. Ditutupnya matanya sejenak, tak berniat untuk tidur. Tetapi, hanya berselang beberapa menit, kegelapan menyeret kesadarannya.

-oOo-

Ketika terbangun, dia merasa bongkahan es telah menusuk setiap inchi kulitnya. Sejenak semua tampak membingungkan. Selagi mengusap-usap mata, dia mulai berpikir apa yang dialaminya sejauh ini adalah serangkaian mimpi yang kacau. Tetapi semua memori yang terlintas dalam benaknya membuatnya yakin telah berada di puncak kesengsaraan pada kehidupan nyata.

Kemudian dia mendengar sesuatu dari lantai bawah. Sayup-sayup, suara percakapan antara dua orang laki-laki. Telinganya menajam ketika dia merasa mengenal siapa itu.

"... ambil saja semua yang tersisa, Juan...."

"... sudah, River. Ayo kita pulang saja ..."

"... kau tunggulah di depan, aku akan memeriksa bagian sini ..."

Jantungnya seketika melambung dengan campuran harapan dan ketidakpercayaan. Sambil mengumpulkan sisa-sisa tenaga dalam tubuhnya, dia menarik dirinya bangun dengan sikunya dan berdiri perlahan. Berjalan seraya meraba tembok.

Langkahnya waspada, ketika dia menyusuri lorong gelap dan rangkaian tangga yang menuju bawah. Pelan-pelan agar tak memberikan luka yang lebih parah pada pergelangan kakinya yang terkilir. Tangan kanannya yang tersembunyi dalam jaket menggenggam sebuah pistol. Dia berharap kali ini tak menembakkannya.

Ada kecelakaan kecil yang terjadi ketika meniti anak tangga. Dia kehilangan keseimbangan, terpeleset, lalu merosot beberapa senti ke bawah. Suara gedebuk menyakitkan berdentum dalam telinganya. Darahnya berdesir sementara dia merasakan kakinya berdenyut-denyut. Lalu cepat-cepat mendongak, memeriksa lorong di bawah yang sepi dan kosong. Ada sebuah pintu di ujung yang terbuka. Tampak seseorang berdiri di sana.

River?

Salvadore River?

Kegembiraan mencekal dirinya bagai capit yang tidak bisa lepas. Dia bangkit berdiri secara perlahan. Rasa sakit yang mengerikan itu masih ada, tetapi antusiasme dalam dirinya berkorbar ketika dia melihat anak itu. River, River, River....

Dia tak pernah menduga bahwa akan dipertemukan dengan anak itu.

Namun, saat dia hendak berkata sesuatu, River tiba-tiba berlari keluar.

𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang