TINDAKAN pertama yang dilakukan River setelah mendengar pria itu berbicara adalah meninjunya tepat di wajah.
Terdengar suara keretak tulang yang patah, lalu batuk berdeguk seperti tenggorokan yang disodok. Pria itu melepehkan giginya yang copot di salju selagi River bangkit dengan panik dari atas tubuhnya. Dia melihat Juan di hadapan jendela mobil, bereaksi tak kalah panik―melakukan serentetan gerakan spontan―mundur dari posisinya dan langsung mengeluarkan pistol dari saku belakang celananya.
Duk. Ujung pistol menekan kaca jendela dan ikut bergetar karena Juan menggenggamnya terlalu kuat.
"A, ada sesuatu di dalam sana," cicitnya dengan wajah tegang. Juan melirik River yang ikut mengintip ke dalam jendela. Dia mendapati ekspresi abangnya begitu pucat dan penuh kengerian saat berpaling kepadanya.
"Ini di luar dugaan, River," kata Juan, nyaris tak tahan lagi.
Teror itu berlanjut ketika keduanya melihat sesuatu di dalam mobil bergerak; terbaring di antara tumpukan pakaian dan selimut kotor, dua mata nyalang berkilau menembus kaca yang gelap, seperti mata ular yang tajam dan picik.
Tetapi bukan itu yang terburuk.
Nyaris sekejap, sosok di baliknya bangkit dan membenturkan diri ke jendela. Dengan rambut lebat kusut yang membingkai wajah sekurus kerangka, melebarkan mulutnya yang seakan terbuat dari kulit elastis, memamerkan gigi-gigi bak cakar harimau yang tajam dan berbahaya. Tampak lapar dan buas;
Juan berteriak. River melompat ke samping, dan ketika dia hampir menyambar pistolnya sendiri untuk menembak monster itu, tahu-tahu tubuh bagian depannya seperti dihantam beton yang besar sehingga membuatnya tersungkur ke belakang.
Punggungnya membentur salju―lalu dalam sedetik yang dibutuhkan untuk menjernihkan pikirannya―mendengar pekikan Juan di sampingnya, jatuh dengan bunyi jedukan yang keras. River hendak berpaling ketika mendadak dia merasakan lehernya dicengkeram kuat. Matanya seperti didorong keluar dari rongganya saat tekanan jemari itu memblokir jalur pernapasannya. Dia melihat dengan pandangan buram, si pria ternyata menjepit tubuhnya. Melotot takut bercampur putus asa, dengan wajah yang dilelehi air mata, bibirnya bergetar ketika berbicara.
"Jangan bunuh anakku, kumohon ....."
"Lep... as...khh." River berusaha bicara.
"A, aku tak akan membunuhmu, asal kau juga tak membunuh ... anakku." Suara pria itu berubah menjadi tegang. Dia mencekik River lebih keras, hingga membuat yang di bawahnya menggapai-gapai lemah.
Telinga River mulai berdenging. Segala sesuatu di sekelilingnya hampir luruh dalam kegelapan yang buram. Juan yang terkapar di sampingnya tak terdengar lagi, sehingga River berpikir apakah adiknya pingsan ataukah dia yang nyaris mati. Saat dia hampir percaya pilhan kedua adalah yang paling benar, dia merasakan udara di sekitarnya bergejolak. Cengkeraman di lehernya seketika terputus; laki-laki yang mencekiknya tiba-tiba terlempar ke samping, berguling di kakinya.
River meraup udara seperti orang rakus, terbatuk-batuk kencang. Membungkuk di salju, memegangi lehernya yang sakit, lalu melihat Juan yang terkapar di sampingnya. Ada darah yang mengalir di dekat kupingnya.
Dia memanggil-manggil Juan sambil mengguncang tubuhnya. "Juan! Sadarlah!"
Tetapi Juan tak bereaksi apa-apa.
"Fuck!" umpatnya parau, lalu menekankan jarinya di bawah hidung Juan, namun tak terasa apa pun karena dinginnya udara membuat kulitnya mati rasa. River menekankan telinganya di dada Juan, berusaha mencari denyut kehidupan di dalam sana, dan tersentak lega. Degup jantung anak itu masih terasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Science Fiction] Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyerang North Carolina. Karena suatu peristiwa, River dan Juan...