Chapter 17: A Promise

1.7K 397 83
                                    

HARI itu ibunya meninggal.

Usianya masih dua belas tahun ketika Lilith―Ibu kandung River―menyuruhnya masuk ke dalam kamar rawatnya. Kesadaran masa lampau yang terus hidup dalam benak River; dahulu, sekarang, dan seterusnya―bau karbol pembersih, selimut kuning, dan pakaian pasien warna putih yang dikenakan ibunya. Sore yang mengubah segalanya. Dia akan selalu mengingat saat-saat itu.

River selalu menyelami kenangan tentang ibunya bagai jam yang berdetik mundur. Saat dia tahu seseorang tahu kapan kematiannya akan datang. River tak bisa menyangkal tindakan mereka, karena mereka tahu apa yang orang lain tak tahu, karena mereka adalah penerima pesan langsung dari Tuhan. Tanpa perantara.

Kau akan mati dalam waktu dekat, kata Tuhan kepada ibunya. Barangkali, itulah pesan yang ibunya dapat sebelum dia memanggil River di kamar rawat.

Ibunya menggenggam tangan putranya, lalu menyelipkan cincin kawinnya kepadanya. Aku mau kau menyimpannya, kata ibunya, meremasnya erat. Jaga dirimu baik-baik. Jaga Ayah juga.

Semuanya akan baik-baik saja, Bu. Kau akan sembuh.

Ibunya hanya menggeleng, dan genggamannya menguat. Lubang keputusasaan yang terkikis di dalam dadanya makin lebar.

Omong kosong, dia membatin tersiksa pada putranya. Tatapannya sakit dan sekarat, air mata menggenang di matanya yang cekung dan lesu. Ibunya tak bisa memberikan segalanya pada River. Dia sudah payah, lalu tubuhnya remuk, hanya tulang dilapisi kulit dan rambut-rambut halus yang bersisa. Tulang pipinya menonjol gemetar ketika dia membuka mulut untuk bicara. Gigi-giginya ngilu dan gusinya bengkak. Dia tak mau bertahan lebih dari ini. Dia ingin membiarkan Tuhan segera mencabut nyawanya saja.

Aku hanya punya kau, adalah kata-kata terakhir Lilith untuk River.

Dan, bersamaan dengan itu, pikirannya melayang pergi. Nyawanya berembus seperti debu-debu di halaman yang tersapu. River ada di sana, menyaksikan kematian Lilith, menggenggam tangannya yang kurus seperti batang kayu yang rapuh. Dia berharap itu adalah kematian pertama dan terakhir kalinya yang dia lihat, karena memorinya begitu menyakitkan, melumpuhkannya dalam kengerian dan kesendirian yang tak berbatas. Ibu kandungnya, yang pergi meninggalkannya saat usianya dua belas tahun.

Sepuluh tahun kemudian, dia justru melihat hal yang sama pada ayahnya.

Dia tak bisa melupakannya. Saat ingatan itu tergelincir pergi, situasi yang baru dan lebih menyakitkan menodai sudut tergelap dalam memorinya. Setelah kematian orang tuanya, kini gilirannya sendiri akan tiba. Dia tahu sejak dirinya dilahirkan di dunia ini, bahwa tak ada yang bakal berhasil dalam hidupnya. Tidak satu pun.

Mungkin memang benar hidupnya di masa lalu adalah seorang pendosa dan penghancur, sebab ini terasa bagai jalan yang tepat untuknya. Karma yang tepat. Kematian yang sepadan.

Oh, bahkan pikiran itu tampak mengenaskan ketika kini River sekarat, berbaring di tengah genangan darahnya sendiri, bergantung putus asa pada nyawanya yang tinggal seujung jari. Dia terburai di dasar hatinya, pecah dalam serpihan, tersesat di tengah-tengah lorong hampa yang langsung terhubung dengan Tuhan.

Kau lihat itu, anakku?

Dia melihatnya. Di ujung lorong. Cahaya itu.

Ibunya berbisik di dalam kepalanya. Tuhan juga mengatakan hal yang sama padaku. Katanya kematianku sudah dekat.

Bau karbol pembersih, selimut kuning, dan pakaian pasien warna putih yang dikenakan ibunya. Sore yang mengubah segalanya. Sore yang menelan nyawa Ibu dan Ayah. Sore yang sama juga akan terjadi pada River.

Sehelai daun beku jatuh perlahan pada dadanya yang kembang-kempis sekarat. Di perut jurang, dalam dekapan bisu pepohonan, di bawah pengawasan burung-burung gagak yang menanti detik-detik kematiannya, serta cengkeraman dingin udara yang menggigit. Setengah tubuhnya terbenam di tengah gundukan salju, dan tatapannya menuntut kosong pada langit kusam di atasnya. Denyut jantung hanyalah satu-satunya suara di dunia ini yang River dengar.

𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang