Chapter 25: A Disgrace

1.1K 326 59
                                    

KETIKA memasuki Forbs, mereka semua harus diperiksa; dilarang membawa benda terkutuk termasuk senjata, tetapi Euros entah bagaimana berhasil menyelundupkan dua pucuk pistol. Dia bilang dia sempat menyembunyikannya di lipatan bangku bus, kemudian berhasil membawanya sampai ke Forbs―melakukan segala hal yang menyatakan arti dari wataknya yang licik dan penuh rahasia―lalu berakhir menyimpannya di balik matrasnya di dalam kompartemen.

Juan baru mengetahui hal itu pagi ini. Bukan tanpa sengaja. Euros tahu-tahu memanggilnya saat kompartemen mereka sedang sepi. Siasat kriminalnya tersembunyi di balik raut datar dan perangainya yang tenang―dengan gerakan cepat―menarik Juan lalu menyodorkan sepucuk pistol padanya; Brengsek, umpat Juan. Dia bahkan tak mau menyentuh benda itu lagi, dan untuk apa orang ini memberikannya? Juan tak mau menerimanya. Dia menepis pistol itu hingga jatuh ke lantai.

Euros langsung mengumpat; kedengaran lebih kasar dan bengis, buru-buru berjongkok memungutnya. "Apa yang kaulakukan? Aku sengaja menyimpan senjata ini untuk kaupakai!" Dia menyembur berbisik.

Saat melihat pistol, kerongkongan Juan terasa sesak dan tak bisa menelan. Sekelebat ingatan tentang mayat ibunya memenuhi kepala, membuatnya gemetar lagi. "Dasar bodoh," rutuknya panas. "Kau simpan saja sendiri benda terkutuk itu! Jangan buat aku memegangnya lagi!"

"Hei, pernyataan itu tak keluar dari hatimu, kan?" Euros menahan suaranya. "Kau memerlukan senjata untuk melindungi diri. Kita tidak tahu apa yang terjadi di luar sana."

"Kau gila, ya? Memang siapa yang mau keluar?" Juan berkata dengan pelototan tidak percaya. "Ini tempat paling aman seantero High Point!"

"Jangan mudah percaya dengan keadaan." Euros menegaskan. Dia menekankan gagangnya pada Dada Juan, berkata dengan nada serius bercampur cemas, "Ayolah, kau tidak boleh lemah. Ambil pistol ini dan simpanlah. Jangan merengek padaku dan menyesal di kemudian hari, Juan."

"Mereka bisa menggeledah kita kapan saja!"

"Dan selalu ada tempat untuk menyembunyikannya," kata Euros, kemudian dia memberi keyakinan pada kilat tajam matanya.

"Ini gila," kata Juan sambil memutar bola mata, walau tampak ogah-ogahan akhirnya dia menerimanya. "Konyol sekali aku menggantungkan hidup pada benda yang membunuh orang tuaku." Dia menggertakkan gigi, kemudian berjongkok di kasurnya dan cepat-cepat menyelipkan pistol itu ke bawah matras. Mengingat traumanya, matanya pedih hampir menangis, jadi dia menyekanya sebelum Euros memergokinya.

"Lihat saja sisi positifnya," kata Euros seraya menoleh ke belakang, memastikan pintu kompartemennya tertutup dan percakapan mereka masih bersifat rahasia. "Kalau tidak ada pistol, sekarang kau pasti tinggal nama." Dia berkata sungguh-sungguh.

Ketika mereka beringsut ke sisi ranjang yang berhadapan, pintu kompartemen tiba-tiba dijeblak terbuka. Wayne masuk bersama Perry―yang tersedu-sedu habis menangis―sambil mengekorinya di belakang. Juan memperhatikan raut jelek Wayne yang dipenuhi luka babak belur kini menjadi lebih memuakkan karena memasang tampang kecut. Seharusnya mereka bersuka cita karena baru saja dari ruang makan, tetapi ini malah sebaliknya.

Euros bertanya kepada Wayne, "Kenapa anak itu?"

"Tanya saja sendiri pada keparat cengeng ini," jawab Wayne ketus, seraya pergi ke tempat tidurnya. Mendengar dirinya dipanggil "keparat" Perry yang langsung menangis lebih keras. Semuanya memandang rikuh satu sama lain.

Juan mendesahkan napas, kemudian melambaikan tangannya agar Perry mendekat. Seperti anak anjing yang baru menemukan induknya, bocah itu menghampiri Juan. Perry selalu berkata bahwa dia rindu abangnya, dan tidak ada yang berani memberitahu bahwa abangnya telah tewas. Lagi pula, siapa yang berani? Setiap kali memulai cerita, bocah itu akan mengeluarkan tatapannya yang sebesar kelereng, dengan rahang maju menahan tangis, mulai merengek gemetaran, "Apa kalian tahu kakakku dibawa ke mana?"

𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang