Chapter 40: Redemption

848 259 45
                                    

LEBIH cepat lebih baik.

Jam di kepala Nathaniel terus berdetik. Dia tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan sebelum kaum Claude datang dan menjungkirbalikkan situasi di luar rencana. Keadaan saat ini terbatas. Daniel pasti mengalami siksaan, dan bila kaum monster tahu apa yang dilakukan para ilmuwan terhadap mereka, kehancuran yang berikutnya tak dapat dielakkan. Harus diselamatkan. Lebih cepat lebih baik.

Dia menginjakkan kaki di gedung selatan pangkalan Forbs. Pengawasan di sana cukup ketat―sekitar enam prajurit bersenjata ditugaskan menjaga pintu laboratoium yang disinyalir menjadi tempat Daniel dikurung. Nathaniel melewati beberapa penjaga, saat sampai di muka pintu, seseorang bertanya padanya.

Namanya Sam, usianya lebih muda tiga tahun; cukup polos dan bodoh. Dia punya kebiasaan menggigiti bibir kalau sedang gelisah, dan sepanjang waktu penempatannya di sini, bibir anak itu sudah luka dan pecah-pecah. "Tumben kau kemari, Bung."

"Perintah Letnan. Aku harus mengecek Daniel."

"Daniel?" alis Sam berkerut. Sialan. Semua prajurit di sini tidak ada yang peduli dengan nama monster.

"Nama orang itu, kau tahu," Nathaniel mencoba menguasai situasi, "Yang ditangkap oleh reguku. Bagaimana sekarang kabarnya?"

Pemahaman di wajah Sam muncul. "Oh, parah, Bung. Walau ruangan ini kedap suara, kadangkala jeritannya sampai membuat lantai bergetar. Kau sungguhan diberi izin Letnan? Kurasa kau bisa masuk kemari." Tanpa menunggu jawaban Nathaniel, Sam maju ke depan pintu, membuka kunci dengan detektor pada lencananya. Pria itu masuk melalui celah terbuka.

Dingin, berbau karbol, serta terselip aroma samar seperti darah dan susu tengik. Nathaniel berputar di ruangan yang seluruh dindingnya dilapisi warna putih. Lukisan-lukisan bernuansa abu-abu dipajang di permukaannya sementara berbagai peralatan medis yang tak dimengertinya berderet rapi di dalam rak kaca. Salah seorang petugas yang menyadari kedatangannya menyapanya.

"Pemeriksaan, Pak?"

"Ya," kata Nathaniel, sementara matanya sibuk jelalatan mengitari ruangan untuk menemukan kemungkinan pelarian diri. Nathaniel mengikuti si petugas ke ruangan lain yang berbeda. Di balik pintu besi otomatis, saat memasukinya rasanya seperti menapak ke ruang pengawasan khusus―lebih gelap dan dingin. Hanya ada satu petugas perempuan yang berjaga di sana.

"Nathaniel, kepala regu unit satu. Kunjungan pemeriksaan," katanya pada petugas―Dr. Janeth, begitulah nama yang tersemat di Dadanya. Perempuan berusia empat puluhan dengan tubuh mungil dan wajah keras. Janeth berhenti dari kesibukan mengoperasikan layar raksasa di hadapannya. Tak tersenyum, tapi mengangguk kecil. Saat Nathaniel melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, dia dikejutkan oleh pemandangan paling tragis yang dilihatnya.

Di sisi lain ruangan itu terdapat kaca dua arah yang membatasi dengan ruangan satunya. Daniel ada di balik ruangan tersebut, terpapar setengah telanjang dan tersiksa. Tangannya diborgol membujur di kedua sisinya, sementara kepalanya dipasung oleh tonggak besi yang dikaitkan pada rantai di lehernya. Kaki Daniel dibiarkan berlutut―Nathaniel mengawasi lebih teliti, rupanya pergelangan sebelah kirinya buntung dan dilumuri darah kering. Daniel berwujud manusia, tapi urat-urat bertonjolan di dada dan lengannya, melapisi kulitnya seperti akar-akar kemerahan.

"Mengerikan, bukan?" kata-kata Janeth menyadarkan Nathaniel yang terpana ngeri.

Dia mendekat di hadapan kaca, bertanya pada sang petugas, "Apa dia masih hidup?"

"Masih. Dia tak akan mati meskipun kami sudah memberinya tekanan yang luar biasa."

"Dan untuk apa kalian melakukan semua itu?"

"Anda masih belum paham?" Janeth bergeming menatap Nathaniel yang memancarkan sorot ngeri dan waspada. "Atau sebenarnya tujuan Anda kemari tidak dilandasi pengetahuan cukup mengenai latar belakang penelitian kami?"

𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang