JUAN terkesiap, dan dia tidak bisa menahan diri. Kamar ibunya tampak seperti ruangan yang asing. Kecuali letak perabotan yang tak berubah, aroma segar jeruk yang dulu sering diciumnya kini berubah menjadi bau familier yang apek dan agak asam, samar juga tercium aroma seperti susu basi yang memuakkan.
Kekhawatiran membanjiri dadanya ketika Juan melihat ibunya meringkuk di dalam selimut, membelakanginya. Oh, apa yang terjadi padamu, Bu? Apa yang kaurasakan?
Bagian rumitnya, bagian yang membuatnya pedih setengah mati, adalah saat dia berpikir bahwa ibunya mungkin terkunci dalam dunia kesedihan yang kelam, yang dia sendiri tak pernah tahu kapan duka itu akan berakhir.
Kepala belakang ibunya menyembul dari pangkal selimut, dengan rambut cokelat kemerahan yang mirip gumpalan sarang laba-laba kusut. Saat Juan duduk di tepi ranjang, dia melihat wajah Ibu yang pucat, dengan bibir terkelupas-kelupas, serta ada lingkaran hitam hitam besar di bawah matanya. Yang paling mengerikan dari semuanya adalah betapa mirip ibunya dengan mayat saat dia memejamkan mata.
"Ibu?"
Juan menunggu beberapa detik, lalu melihat ibunya terbangun. Raut wajahnya menunjukkan keterkejutan saat mereka saling berpandangan dalam gelap kamar yang suram.
"Bu, apa yang kaurasakan?"
"Juan?"
"Ya, ini aku." Juan menggenggam tangan Selene yang menggantung di sisi ranjang. Tangan yang lemah dan kurus, yang terasa panas saat bersentuhan dengan kulitnya.
Demam.
"Bagaimana perasaanmu? Apa sudah makan?"
"River tadi menyuapiku," bisik Selene, serak. "Tapi aku muntah."
"Aku akan menyuapimu, tunggu sebentar," lalu Juan hendak bangkit. Namun, tangannya ditahan. Dia menoleh ke balik bahunya dan menatap mata Selene yang terpaku padanya, seperti berkaca-kaca. Juan bertanya-tanya apakah dia sedang menahan tangis atau karena demam.
"Ibu harus makan." Itu adalah fakta yang lebih terdengar sebagai permohonan. "Ibu kurus sekali."
Selene menggeleng, bibir dirapatkan dan menegang. Memikirkan makanan ... perutnya seperti melilit. Sudah berhari-hari dia kehilangan selera makan. Maka dia berkata kepada Juan untuk menahannya.
"Tetap di sini bersamaku ...." Selene melihat mulut Juan sedikit terbuka, menunjukkan bahwa dia ingin mengelak, tetapi nyatanya tak ada apa pun yang keluar dari sana, bagai tengah menimbang-nimbang. "Tolong, Nak... sebentar saja bersama Ibu." Dia berbisik memohon.
Lalu, akhirnya Juan mengabulkan permintaannya. Cahaya lilin yang redup memberi penegasan bayangan-bayangan mengerikan di sudut-sudut tajam wajah Selene. "Ibu demam," kata Juan, sekali lagi menggenggam tangan Ibu yang membara panas seperti kompor. Kesakitan. Pasti rasanya tidak nyaman sekali. Sejak kapan ibunya seperti ini?
"Ibu sudah minum obat?"
Selene mengingat River yang menyuapinya sirup demam sore tadi, tetapi dia tetap muntah.
"Ya." Tak mau berkata jujur. Kejujuran rumit, kejujuran menyakitkan.
"Maaf, aku jarang menemanimu," kata Juan, lirih. Kulit Selene sangat pucat di bawah sorot api lilin dan dia tidak terlihat cantik dan sehat seperti dulu lagi. "Ibu selalu tidur. River bilang kepadaku kalau kau tidak boleh diganggu."
"Ibu merasa jauh lebih baik sekarang," kata Selene, lalu sinar matanya berubah saat dia berpikir sesuatu yang lain. "Kupikir aku mendengar suara ramai di luar, apa itu tentara pengawas? Ibu tidak bisa mencapai jendela untuk melihatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction[Pemenang Wattys 2021 Kategori Science Fiction] Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyerang North Carolina. Karena suatu peristiwa, River dan Juan...