NAPAS River yang berupa asap putih pekat mengepul di udara yang nyaris membeku.
Kristal salju menggantung di ujung ranting serta daun-daun pepohonan, dan siang yang tertutup gumpalan awan mendung mulai mengangkat kabut serta menggantinya dengan cahaya putih. Asalkan salju turun tak deras seperti ini, River merasa lega, dan kenyataan bahwa dia tak bertemu satu pun monster menegaskan perasaan itu.
Dia berjalan mengitari sisi seberang jalan raya di bawah jembatan yang lengang, senantiasa waspada dengan melihat sekelilingnya atau memasang telinga tajam-tajam. Sekitar tiga kilo meter lagi akan sampai di persimpangan tanjakan 32, lalu melintasi dataran terbuka yang menuju barat kota dan berdoa semoga di tempat tujuan itu dia menemukan petunjuk tentang keberadaan orang-orang. Mengitari jalur ini akan menempuh jarak berkilo-kilo meter lebih jauh, tetapi satu-satunya hal yang lebih berisiko daripada menempuh kota pada siang hari adalah mencobanya pada malam hari.
Dan semua ini adalah tentang risiko.
River menengadah ketika dia melihat semburat cahaya lampu sen yang berkelebat di atas jembatan jalan raya, dari arah timur, sekitar tiga sampai empat puluh meter dari tempatnya berdiri. Tersentak antara panik dan senang, dia menekan sabuk senapan di bahunya dengan kuat, dengan langkah kilat berlari memutar menuju tangga batu di bukit bersalju yang menghubungkan ujung jalanan bawah dan jembatan atas.
Dingin mencubit pipinya, membuat paru-parunya sakit setiap kali menarik napas. Cepat, cepat, cepat! Salju melecut di wajahnya selagi dia tergesa-gesa naik ke atas. Apakah itu mereka? Apakah itu tentara? Pikirannya berkabut pusing karena kedinginan, sementara kakinya terbenam di anak-anak tangga yang licin. River terpeleset beberapa kali, nyaris terperosok jatuh pada anak tangga terakhir. Saat akhirnya dia mencapai jalan raya di sisi bukit atas, dia merasakan luapan harapan membanjiri dadanya ketika melihat apa yang ada di hadapannya.
Ini pasti mimpi.
River melotot tak percaya saat bus tentara dengan plat kendaraan simbolis milik negara melintas dari ujung jalan yang diselimuti cahaya perak. Dengan sigap mengangkat tangannya, melambai-lambai. Bus memelankan kecepatannya saat hampir mendekat, lalu berhenti. Pintu berbunyi terbuka, dan River melihat sosok tentara keluar dari dalam bus.
Berpakaian semestinya, dengan bandul kalung perak bernama Nathaniel A. bergoyang di dekat dadanya. Tentara itu menutupi sebagian wajahnya dengan masker hitam, berseragam lengkap bersenjata. Dia menurunkan masker hitamnya sehingga River bisa melihat seperti apa tentara itu.
Wajahnya tak jauh lebih tua darinya, tetapi Nathaniel punya badan yang besar dan sedikit lebih tinggi. Tulang pipinya tinggi, serta alis matanya yang tebal selalu berkerut ketika menatap pada River. Dia berkata dengan tegas.
"Siapa namamu?"
"River Salvadore." Dia mendengar suaranya sendiri agak tersengal.
"Dari mana kau berasal?"
"Barnard Hills."
Tentara itu mengulum lidahnya di dalam pipi, mengernyit sejenak selagi mengawasi River seperti sedang menilai sesuatu.
"Apa masih ada orang di pemukiman itu?"
River merasakan dadanya berguncang saat mendengar pertanyaan itu. "Ya, di sana ada keluargaku. Kami ada berempat, lalu ibuku ...."
"Prajurit, siapa anak itu?"
Suara pria yang lebih berat terdengar dari belakang tentara bernama Nathaniel. River mencuri pandang seorang tentara yang berwajah keras, berhidung bangir, serta kerut-kerut penuaan di sekitar matanya menghampiri mereka berdua. Dengan tatapan yang lebih nyalang memandang River, sebelum berkomentar apapun, melakukan gerakan yang cepat dan terlatih seperti seorang profesional; dia mengarahkan ujung pistol pada River.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)
Science Fiction🏅 PEMENANG WATTYS 2021 KATEGORI SCIENCE FICTION ⭐ TERSEDIA LENGKAP BAIK DI WATTPAD MAUPUN DI KARYAKARSA ⭐ Ini adalah kiamat yang terjadi secara bertahap. Wabah mengerikan yang mengubah korbannya menjadi monster setengah serigala kini telah menyera...