Chapter 5: Odor

2.4K 535 110
                                    

SEJAK dahulu predator selalu menangkap mangsa yang lengah.

Tak peduli sekuat apa lawannya, seberapa tangkas gerak tubuhnya, secepat apa kakinya melangkah, predator terlatih secara alami untuk menemukan celah pada buruannya. Mereka tidak melawan dengan kecerdasan. Mereka melawan dengan insting. Jelas sekali, manusia yang paling cerdas sekalipun, akan kalah dengan makhluk ganas yang mengandalkan insting berburu untuk mencari mangsa. Mereka adalah target. Mangsa sang predator. Santapan para monster; manusia.

Juan adalah seorang pemain sepakbola di kampusnya sebelum dunia membuat sepakbola menjadi sesuatu yang tidak berguna lagi. Dia cepat. Tangkas. Otot-otot pada tubuhnya terlatih baik. Akan tetapi, dia tahu semua itu kurang efektif untuk membuatnya lolos dari target para monster, paling tidak untuk saat ini, semua ini disebabkan karena dia tak memperkirakan apa yang sebenarnya monster itu cari.

Makanan.

Mereka memiliki insting yang kuat untuk mencium dari mana aroma darah itu datang.

-oOo-

"Kawanan monster itu sudah jauh di belakang!" Juan berkata, terengah-engah sehabis berlari.

Ketika dia berhenti, Juan mengecek sekelilingnya dan hanya melihat jalanan berkelok yang sepi. Pepohonan di sisi kiri dan kanannya, keresak lembut daun dan ranting yang damai, embusan angin dingin yang tenang. Tidak ada. Tidak ada lagi tanda-tanda makhluk itu.

"Kita masih setengah jalan, Juan. Ayo."

River menarik jaketnya untuk terus melangkah. Satu tangannya memeluk M16 di dada. Harta mereka satu-satunya. Tas persediaan di punggungnya sudah hilang, disapu oleh gelombang kepanikan yang membuatnya jatuh terjerembab di tengah jalan beberapa saat lalu. Dasar tolol, ceroboh sekali. River menyesalinya, tetapi dia harus merelakan apa pun demi keselamatan mereka.

"Sebentar lagi kita mencapai rumah, tetaplah waspada dan jangan lengah."

"Aku tahu," balas Juan, menatap River yang membelakanginya. Tatapannya sedikit bergeser dan dia melihat ujung laras senapan menyembul dari pundak abangnya.

Sengaja tidak digunakan untuk membunuh demi melindungi nyawa mereka. Juan tahu penyesalan macam apa yang mengintai River. Jenis duka yang tak bisa disembuhkan oleh waktu sekalipun. Teringat perkataan River tentang ayahnya, "Dia memperjuangkan kita di saat-saat terakhir. Jangan sia-siakan kematiannya."

Jangan sia-siakan kematian Ayah.

Semua ini tampak ironis di mata Juan. Ada harga yang harus dibayar agar kau selamat, dan ayah mereka mengorbankan apa yang tersisa dari dirinya bahkan saat dirinya sudah tak bernyawa. Mereka tidak boleh menyiakan perjuangannya, sekalipun itu menjadi beban seumur hidup, paling tidak jangan memelihara penyesalan.

Jadi, Juan memilih untuk tidak memikirkan semua itu. Dia mengikuti langkah lebar River di belakang, berjalan lebih cepat. Mereka harus sampai di pemukiman terlebih dahulu sebelum kemudian mencari bantuan. Obat-obatan, senjata, air minum. Juan memimpikan ketiganya dan berpikir bahwa sebentar lagi dia akan mendapatkannya. Oh, menurut Juan ini terlalu mudah, bagaimana mereka melarikan diri dari kawanan monster ganas itu. Namun, tak ada gunanya untuk memikirkan banyak alasan mengapa mereka bisa selamat. Yang terpenting saat ini semua aman.

Ya, semuanya aman.

Namun tetap saja.

Yang terburuk akan segera datang.

Selama sesaat, River dan Juan tak merasakan apa-apa. Kedamaian alam masih memukau ketenangan mereka, sejenak mengalihkan kewaspadaan. Kemudian, ada sesuatu yang mengganggu suara alam yang lembut itu.

𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐄𝐅𝐓𝐎𝐕𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟏)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang