*play the song
Naya's Pov
Hari Senin di Sekolah
Bel masuk berbunyi, semua murid sudah bersiap di lapangan untuk melakukan upacara. Gue masuk ke barisan paling belakang di samping Aris.
Upacara pun dimulai dengan petugas dari kelas XI IPA 1. Jajaran guru juga telah berbaris rapi di depan lapangan dengan beberapa guru piket berjaga di barisan murid secara acak. Sudah lama sekali rasanya gue tidak upacara.
"Nay, Nay," panggil Aris berbisik.
Gue menengok ke arahnya seraya mengangkat dagu.
"Gue banyak pertanyaan ke lo," ucapnya lagi.
"Pertanyaan apaan?"
"Tuh," dia mengarahkan tatapannya ke barisan depan.
"Apa sih?" tanya gue tidak mengerti.
"Syahna," jawabnnya dan gue hanya memutar bola mata malas.
"Lo harus cerita ke gue kenapa Jumat lalu lo bisa ajak dia."
"Males ah."
"Harus, nanti di kelas."
"Lo tanya dia aja."
"Gak bakal gue digubris, dilepehin malah iya. Lo kudu cerita pokoknya."
"Gak penting."
"Ehem, Aris, Naya, ikut Bapak," tiba-tiba ada Pak Amir datang dari arah belakang menegur kami.
"Ck, lo sih," gerutu gue ke Aris dan dia hanya menyengir lebar.
Kami berdua pun mengikuti langkah Pak Amir munuju barisan murid yang tidak menggunakan perlengkapan upacara di bagian samping lapangan. Gue melewati Syahna dan mata kami sempat beradu untuk sekian detik. Ekspresinya penuh tanya menatap gue, dan gue hanya membalasnya dengan tatapan datar.
Gue jadi teringat Sabtu siang di rumahnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada seseorang lagi yang berani menanyakan background keluarga gue. Ya, seorang Syahna Zeline Fredella yang baru gue kenal satu minggu itu dengan berani menanyakan personal things gue.
Tapi gue tidak bisa langsung cerita begitu saja pada orang yang baru banget gue kenal. Akhirnya siang itu kami hanya mengerjakan tugas.
Upacara sudah hampir selesai. Barisan kami pun semakin bertambah dengan murid-murid yang tertangkap basah oleh guru piket. Entah itu mengobrol, bolos upacara, ataupun tidak mengenakan perlengkapan upacara.
Satu persatu barisan kelas sudah beranjak pergi dari lapangan ini, termasuk kelas kami. Dan lagi, tanpa sengaja gue menangkap tatapan Syahna yang sedang melihat ke arah gue. Dia pun langsung memalingkan wajahnya ke sembarang arah dan kembali ngobrol dengan Mala.
"Semua yang ada di barisan ini, maju lima langkah ke depan," perintah Pak Amir membuyarkan tatapan gue.
Dengan langkah gontai, kami mengikuti perintahnya sehingga berbaris tepat di tengah lapangan yang terik.
"Sudah Bapak ingatkan berkali-kali, setiap Hari Senin harus berseragam yang lengkap untuk upacara. Dan kalian tidak boleh mengobrol, bercanda, apalagi bolos dari upacara. Sebagai hukuman atas kesalahan kalian, Bapak minta yang cowok lari mengelilingi lapangan sebanyak 10x. Sedangkan yang perempuan, kalian lari 5x. Kalau sudah, ijin ke Bapak untuk kembali ke kelas masing-masing. Mengerti semuanya?" teriak Pak Amir tegas.
"Mengerti Pak," jawab kami dengan suara lesu.
"Ya, ayo dimulai dari kamu," unjuk Pak Amir ke seorang cowok yang berbaris paling depan.

KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH
RomanceHiraeth: A longing for a home you can't return to, or one that was never yours. Menceritakan sebuah perjalanan menemukan kembali titik balik yang sudah lama Naya lupakan. Proses panjang pencarian sebuah makna dari kata 'rumah' yang sudah tidak bera...