09

308 35 1
                                    

Yena's POV

"Mark, apa kau punya rumah lain?" tanyaku.

"Tentu saja ada. Kenapa?" tanya Mark.

"Bisakah kita pindah ke sana?" tanyaku.

"Untuk apa? Fasilitas di sini sudah memadai."

"Benar firasatku," ucapku. "Di ikat rambut itu ada GPS. Somi sudah tahu letak rumahmu. Kita bisa saja mati bersama."

Mark membenarkan posisi duduknya. Ia terlihat tegang. "Ayo kita pindah sekarang. Mumpung masih ada waktu."

Besok adalah hari Rabuㅡhari kematianku.

Aku harus mencegah segala kemungkinan yang akan dilakukan Somi kepadaku.

Mark mengisi kopernya dengan baju-baju miliknya. Bajuku hanya beberapa pasang di sini. Aku bisa membelinya lagi. Sehingga aku tidak perlu membawanya.

Setelah itu, ia mengeluarkan mobilnya. Aku pun segera masuk ke mobil. Kita berdua pergi menuju rumah Mark yang lainnya.

***

[Aku sudah mendapatkan alamat rumahmu. Kau tidak akan aman. Bagaimana kabar keluargamu?]

Tut.

Aku menahan tawa saat mendengar isi dari telepon itu. 

Padahal aku baru saja pindah bersama Mark. Tetapi, ia baru mengancamku. Tidak mungkin ia tahu mengenai rumah Mark yang sekarang.

Keluargaku juga tidak bersamaku. Ah, tidak. Mark kan keluargaku juga. Kenapa aku bisa lupa tentang itu?

Beberapa saat kemudian, aku mendapat panggilan dari orang itu lagi.

[Kenapa? Kau terlihat panik sekali. Kenapa kau pindah?]

Tut.

Aku terdiam sebentar. Apa dia benar-benar tahu di mana aku sekarang?

Tidak mungkin, lah.

Pasti yang ia maksud adalah rumah Yeonhee. Ikat rambut itu ada di Yeonhee. Sayangnya, ia tidak mengetahuinya. Kasihan sekali.

"Kenapa? Kita udah pindah. Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Mark.

"Aku memberi ikat rambutnya ke Kang Yeonhee," ucapku. "Tapi, aku masih merasa tidak tenang."

"Kenapa?" tanya Mark.

"Baru saja aku mendapat telepon darinya. Ia tahu bahwa aku pindah. Tapi, aku berusaha berpikir positif. Mungkin yang ia maksud itu rumah Yeonhee," jelasku. "Tapi, rasanya tetap saja tidak tenang."

"Ikat rambut itu ada di Yeonhee kan? Tenanglah," jawab Mark. "Omong-omong, kenapa dia menggunakan ikat rambut untuk melacakmu?"

"Mungkin sebelumnya ia memperhatikanku." Aku menunjukkan tanganku ke Mark. "Aku selalu menaruh ikat rambut di pergelangan tanganku."

"Ah, begitu." Mark memberiku segelas wine. "Cheer up."

"Aku rada trauma dengan wine," ucapku meski pada akhirnya aku menerimanya.

"Tenang saja. Aku tidak menaruh obat tidur di sana," ucap Mark meladeni perkataanku.

Aku tertawa mendengar ucapan sarkas Mark lalu meneguk wine itu.

"Omong-omong, tentang Somi..."

"Kenapa?" tanyaku.

"Kau tidak mau membalasnya? Dia selalu saja berusaha mencelakakanmu."

Gambler; JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang