Somi's POV
"Lo-Lora?"
[Tampaknya kau terkejut sekali. Ah, bagaimana dengan rencana pembunuhanku? Apa berjalan lancar? Atau pembunuh bayaranmu belum mengabarinya lagi?]
Aku menggigiti kukuku. Bagaimana ini?
[Sepertinya kau takut sekali karena tertangkap basah.]
"Maaf, Lora siapa? Saya tidak--"
[Jeon Somi! Tidak perlu berpura-pura bahwa ini salah sambung. Kau pikir aku bodoh?]
"Jeon Somi? Siapa? Saya Kim Jinhee."
[Nice try. But, you can't fool me. Let's meet, Jeon Somi.]
Tut.
Keringat dingin sudah menetes dari dahiku. Aku tidak tahu harus melakukan apa.
Aku langsung menelepon pembunuh bayaran yang sudah aku hubungi sebelumnya.
[Halo, Nona Somi. Ada yang--]
"Tunda pembunuhan itu. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan terlebih dahulu. Aku butuh bantuanmu."
Tut.
Beberapa saat kemudian, aku mendapat pesan dari Lora. Ia memberiku alamat sebuah kafe. Aku pun segera memberitahu alamat itu kepada sopirku.
Kalau sudah begini kejadiannya, aku tidak bisa menghindarinya.
***
Yena's POV
Sekarang sudah pukul sembilan malam. Jeno sudah kembali ke rumahnya sejak tadi. Aku masih berada di rumah sakit bersama Mark.
Setelah menelepon Somi, aku melihat ke arah atas untuk menahan air mataku. Ternyata, begini rasanya berbicara dengan orang yang ingin membunuhmu.
Sebenarnya, meski Somi tidak keceplosan pun, aku akan membahas tentang itu. Aku sungguh tidak tahan lagi dengannya. Hatinya sudah busuk. Lagipula, apa-apaan dia? Dia kira Mark itu apa?
Aku ingin sekali membicarakannya langsung saat ia berkunjung ke sini. Namun, aku ingin bicara secara pribadi dengannya.
Aku mendapat nomor telepon Somi dari Mark. Sebelumnya, aku memang tidak memilikinya. Aku rasa Somi juga tidak punya nomorku. Tidak heran jika ia mengira akulah pembunuh bayaran yang ia sewa.
"Aku mau pergi dulu," ucapku pada Mark.
"Ke mana?" tanya Mark.
"Kafe dekat rumahmu," jawabku.
"Wah, sekarang udah gak main di lounge lagi ya? Udah tobat ya?"
"Don't tease me."
"Mau ngapain di sana?"
"Ngelabrak."
"Ow, Lora. Kau menakutkan," ucap Mark.
"I am," jawabku.
"Labrak sia--" Mark tersentak. "Apa Jeon Somi?!"
Aku mengangguk. "Aku dulu pernah bilang bahwa aku akan bicara dengannya. Ini adalah saat yang tepat."
"Kau yakin?"
"Tentu saja. Aku Lora," jawabku lalu segera keluar dari ruangan itu.
"Sombongnya," ledek Mark.
Aku menghentikan langkahku setelah membuka pintu. Aku menoleh ke Mark.
"Jaga dirimu. Kau bisa sendiri kan? Kalau aku belum kembali setelah satu jam, beritahu Jeno," ucapku.
Mark melemparkan kotak kecil. "Mungkin kau membutuhkannya."
Aku segera menangkapnya lalu melihat isinya. "Kau bahkan membawa ini ke rumah sakit?"
"Aku mendapatnya dari Jeno," jawab Mark.
***
Somi sudah datang lebih dulu. Aku pun menghampiri mejanya dan duduk di hadapannya.
Somi melepaskan kacamata hitamnya lalu menatapku dengan tatapan merendahkan. Dasar tidak tahu diri.
"Jeon Somi," panggilku. "Hentikan saja ini."
"Hentikan apa?"
"Apa kau tidak menyalahkan dirimu sendiri saat melihat keadaan Mark?" tanyaku. "Sungguh tidak tahu diri."
"Untuk telepon tadi, aku rasa kau salah pa--"
"Kau juga yang mencoba membunuhku saat di Kanada. Kau pikir aku tidak tahu?" potongku. "Kau sangat kekanak-kanakan. Kau masih terlalu naif untuk merencanakan pembunuhan."
Somi terdiam.
"Jangan kira aku tidak berani denganmu. Aku sangat berani. Aku hanya menutup mata. Aku berpura-pura."
"Shut up, Lee Yena."
Aku terkekeh. "Aku tidak mempan, Jeon Somi. Setelah mengetahui bahwa kau berhubungan dengan Kang Yeonhee, aku tidak heran mengapa kau tahu."
"Bagaimana jika aku mencoba meluruskan semua ini?" tanya Somi. "Kau terlalu banyak bicara."
"Munafik," ucapku penuh penekanan. "Aku sudah tahu semua."
"Bisakah kau tutup mulut untuk ini semua?"
"Kau mengancamku?"
"Tidak. Aku memohon padamu."
Aku membuka mulutku tidak percaya. Kenapa orang selemah ini mau membunuhku? Setelah ketahuan, ia tidak bisa berbuat apapun. Padahal keinginan untuk membunuhku sangat tinggi.
"Memohon padaku?" tanyaku. "Konyol."
"Aku minta maaf untuk semuanya, Lora. Maaf untuk Mark. Maaf karena sudah mengancammu." Somi mulai mengeluarkan air mata.
Kenapa dia tiba-tiba berubah? Kenapa semudah ini? Aneh. Ada yang tidak beres. Jika sudah seperti ini, aku harus mengikuti alurnya.
"Kau tahu betapa kecewanya aku saat mengetahui bahwa itu dirimu?" tanyaku. "Aku sangat mempercayaimu sebagai teman dekat."
"Maaf, Lora," ucap Somi. "Aku minta maaf."
"Kalau begitu, bisakah kau berhenti mengganggu hidupku?" tanyaku.
Somi menunduk. "Baiklah."
"Hubungi pembunuh bayaranmu dan batalkan pembunuhanku," ucapku.
Somi langsung mengambil ponselnya lalu menelepon seseorang.
"Batalkan rencana pembunuhan Lee Lora."
Setelah itu, Somi menyimpan ponselnya lagi.
"Aku bisa saja menghancurkan perusahaan orang tuamu. Ini peringatan," ucapku lalu keluar dari kafe itu.
Aku menunggu taksi di depan kafe. Namun, tidak ada satu pun taksi yang melewati tempat itu. Aku pun berjalan menyusuri gang yang ada di dekat kafe.
Aku melihat ke kanan dan kiri berkali-kali. Aku yakin ada sesuatu. Aku merasa ada yang mengikutiku. Tetapi, aku tidak mau menoleh ke belakang.
Aku sangat gugup.
Aku bisa mendengar suara langkah kaki dari belakang. Kadang aku merasa bangga dengan telingaku. Aku selalu bisa menangkap suara dengan baik.
Aku menghela napas. Sepertinya ini saatnya.
DOR!
Aku langsung terjatuh ke aspal di sana. Darah memenuhi punggungku. Aku sudah tidak berdaya.
"Nona, misi selesai."
===========
Gambler ㅡ 24
16-07-2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Gambler; Jeno
FanfictionLee Yena adalah seorang outcast di sekolahnya. Sesampainya di kasino, Yena bukanlah Yena lagi. Ia adalah Lee Lora, orang paling terkenal di tempat itu. ======== Gambler A Lee Jeno's fanfiction Copyright© 2019 by Ines