21

210 22 0
                                    

Yena's POV

Aku menangis sangat keras melihat keadaan Mark.

Aku terus memanggil namanya. Aku menepuk pipi Mark pelan. Namun, tidak ada reaksi darinya.

"Mark..."

Aku menemukan luka tembak di perut Mark. Aku sangat panik melihatnya. Aku segera mengambil handuk dan menahan pendarahannya.

Aku menaruh jariku di lehernya. Aku masih bisa merasakan denyut nadinya. Tapi sangat pelan. Aku semakin takut.

"Astaga, Mark!"

Aku segera menoleh. Akhirnya Jeno datang.

"Di mana kunci mobil Mark?" tanya Jeno. "Aku membawa motor."

Aku mengambil kunci itu di laci meja lalu memberinya kepada Jeno.

Tanpa bicara panjang, Jeno membawa Mark ke mobil. Aku pun ikut masuk ke mobil.

***

Setelah sampai di rumah sakit, aku menghubungi orang tua Mark. Sedangkan Jeno langsung pulang.

"Yena!" teriak Bibi Lee ketika sampai di rumah sakit.

Aku segera berdiri lalu membungkuk. "Bibi Lee..."

"Apa yang terjadi dengan Mark? Dia ditembak?" tanya Bibi Lee panik.

Aku mengangguk lemah. "Iya, Bi."

Sekarang Mark sedang dioperasi. Dokter yang menanganinya berkata bahwa Mark sedang dalam masa kritis. Pihak rumah sakit tidak bisa menjamin keselamatannya.

"Kalo ada suatu keadaan yang menghalangiku, aku mau kamu percaya sama Jeno," ucap Mark.

Apa ini yang Mark maksud? Keadaan yang menghalanginya? Tapi kenapa terdengar seperti wasiat?

Ah, tidak boleh. Aku tidak boleh berpikir seperti itu.

Mark pasti selamat. Aku percaya dia. Mark bukanlah orang yang lemah. Pasti dia selamat. Pasti.

Aku bisa melihat Bibi Lee menangis di sebelahku.

Aku mengenggam tangannya. "Semuanya akan baik-baik saja, Bi."

Bibi Lee menoleh padaku. "Terima kasih, Yena."

"Di mana paman?" tanyaku.

"Ia sedang dalam perjalanan bisnis. Jadi, akan memakan waktu," jawab Bibi Lee. "Ia masih dalam perjalanan ke sini."

Beberapa saat kemudian, keluargaku datang.

Tunggu, kenapa mereka datang? Apa yang harus aku katakan jika mereka bertanya?

"Bibi yang memberitahu mereka," ucap Bibi Lee sebelum aku bertanya.

"Yena, kau baik-baik saja?" tanya mama.

Aku mengangguk.

"Bagaimana Mark?" tanya mama.

"Dia masih dioperasi," jawabku.

Kak Haechan menatapku sinis. "Yena, ayo bicara."

Aku mengikuti langkah Kak Haechan. Ia membawaku cukup jauh dari keberadaan orang tua kita.

"Jelasin ke aku," ucap Kak Haechan. "Kenapa ini bisa terjadi?"

"Ya... ini terjadi begitu saja."

"Jangan tinggal di rumah Kak Mark lagi."

"Aku akan tetap tinggal di sana."

"Di sana berbahaya!" bentak Kak Haechan. "Untung saja kau tidak ikut tertembak."

Tapi, kalau aku pulang, maka rumah kita yang akan berbahaya, Kak.

"Aku akan tetap tinggal bersama Kak Mark," jawabku. "Aku sudah bilang."

"Kenapa? Jelaskan alasanmu! Bahkan setelah kejadian ini, kau masih mau tinggal bersamanya? Sebenarnya apa yang terjadi?!"

Aku terdiam cukup lama. Aku bingung harus menjawab apa.

"Pokoknya aku punya alasannya. Kakak tidak perlu tahu."

"Yena, kau ini membuatku frustasi." Kak Haechan mengacak rambutnya. "Ini ada hubungannya dengan Kanada, kan? Ada yang terjadi di Kanada, kan?"

"Kanada? Selama di Kanada, aku juga tinggal di rumah Mark. Tapi, aku baik-baik saja sampai sekarang," jawabku.

"Jawab pertanyaanku!"

"Yang penting, tidak ada hubungannya dengan kakak," jawabku.

"Katakanlah kepadaku semuanya. Mau bagaimanapun, aku saudaramu. Serahasia itu kah sampai kau tidak bisa memberitahuku?"

Secara biologis, Haechan memang kakak kembarku. Tapi, kita tidak sedekat itu. Sejak berumur lima tahun, aku sudah ke Kanada bersama keluarga Mark. Dan sejak itu pun, aku tidak pernah bertemu Haechan.

Jika bukan karena teror dari Somi, maka harusnya aku dan Mark masih tinggal di Kanada. Kita berdua kembali ke Korea untuk kabur. Namun, tidak disangka, Somi juga ke Korea setahun setelahnya.

"Iya. Memang sangat rahasia. Puas?" ucapku. "Rahasianya sangat besar sampai kau--ah, bukan. Bahkan sampai orang tua kita tidak boleh mengetahuinya."

"Kalau begitu, aku akan cari tahu sendiri," jawab Kak Haechan.

"Cari tahu saja. Tapi, itu tidak akan merubah keadaan," jawabku santai. "Aku akan kembali saat masalahnya sudah selesai."

"Kau ini keras kepala sekali."

"Iya! Aku memang keras kepala. Oleh karena itu, jangan ikut campur lagi."

***

Setelah menunggu selama dua jam, dokter pun keluar dari ruang operasi.

Paman Lee juga sudah sampai di rumah sakit. Di antara yang lain, dialah yang merasa paling bersalah.

"Dok, bagaimana keadaan Mark?" tanya Paman Lee.

"Syukurlah operasinya berhasil. Keadaannya masih belum membaik. Tapi, sudah melewati masa kritis," jelas dokter. "Kami akan pindahkan ke ruang VIP."

Semua yang mendengar itu langsung tersenyum lega.

Kami semua berjalan menuju ruang VIP milik Mark.

Aku merasa sangat sedih saat melihat keadaan Mark. Ini pertama kalinya aku melihat Mark setidak berdaya ini.

"Selain tembakan di perutnya, ia juga memiliki luka pukulan benda keras di tangan dan kaki. Untungnya tidak terlalu serius," jelas dokter. "Untungnya lagi, tidak ada luka di bagian kepala."

"Terima kasih, Dok," ucap Bibi Lee berkali-kali.

Dokter itu membungkuk lalu keluar dari ruangan VIP.

"Maaf, ini semua karena aku."

Semua orang di ruangan itu menoleh ke pemilik suara.

Bukan, bukan aku yang mengatakannya.

"Pasti ini ulah perusahaan sainganku," lanjut Paman Lee.

Ingin sekali aku menjawabi ucapannya. Tapi, aku tidak seharusnya melakukannya. Padahal, ini bukan salah Paman Lee. Ini semua salahku.

============

Gambler ㅡ 21
15-07-2019

Gambler; JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang