46

386 30 6
                                    

Yena's POV

Bukti yang dikirim Yeonhee sangat membantu proses penyelidikan. Sekarang, CEO Jeon alias ayah dari Somi sudah tertangkap. Ia menerima banyak tuntutan. Tuntutannya adalah ancaman, pemalsuan suara, dan kekerasan mental anak.

Denda yang harus ia bayar juga sangat banyak. Aku jadi kasihan padanya. Ia sudah kehilangan perusahaannya, anaknya, dan sekarang kehilangan nama baiknya.

Aku merasa sangat lega. Akhirnya penderitaan di hidupku berakhir. Ah, aku tidak seharusnya bilang begitu. Aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.

Semuanya berawal karena berjudi.

Aku tidak menyangka bisa mengalami peristiwa ini di dalam hidupku. Masa remajaku memang sangat luar biasa dibanding masa remaja orang kebanyakan.

Kadang aku merindukan hidup normal. Hidup tanpa gangguan sama sekali. Hidup yang kecemasanmu hanyalah sebatas di lingkungan keluarga dan sekolah. Kau bisa melakukan hobimu. Kau bisa mengejar mimpimu. Kau bisa bermain dengan teman-temanmu.

Semua kejadian ini membuatku semakin dewasa. Semakin aku memutar ulang ingatanku, semakin terasa tidak masuk akal. Tidak seharusnya aku mengalami ini semua.

Aku menunduk dan melihat kemeja dan celana panjang hitam yang kupakai sejak tadi. Aku memandang foto seorang remaja perempuan yang sedang tersenyum di sana. Itu dia, Jeon Somi si teman lamaku. Bukan Jeon Somi yang sekarang.

Rasanya sesak melihat foto yang dipajang itu. Kenapa harus foto itu yang dipakai? Aku jadi teringat masa-masa damaiku sebelum semua ancaman itu dimulai. Masa di mana aku berteman baik dengan Somi. Bagai kembar siam, kita tidak bisa terpisahkan sama sekali.

Masa yang juga untuk pertama kalinya, aku dikhianati. Rasanya? Sangat kecewa. Meski masih terasa jelas, aku harus melupakannya. Itu semua sudah berlalu. Dan ini bukanlah saatnya untuk mengingat keburukan orang lain.

Karena ini semua sudah terjadi, aku memilih untuk menganggap semuanya sebatas memori. Tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang. Cukup apa adanya.

Di depan Somi yang sedang tersenyum, aku malah menangis.

***

Satu bulan sudah berlalu. Aku menjalani kehidupan seperti biasa. Aku berhenti minum dan berjudi. Jika aku melakukan itu, maka kenangan buruk akan terus berputar.

Meski Kang Yeonhee sudah tidak menggangguku, ia tetap saja menganggapku tidak ada. Dia mau bicara jika hanya ada kita berdua. Ia bilang ia terlalu gengsi di depan temannya yang lain. Bisa dimaklumi, sih. Memang aneh untuk berteman dengan orang yang awalnya selalu berkelahi. Lebih anehnya lagi, aku memaafkan perbuatannya.

Sedari tadi, aku terus duduk di ranjangku tanpa berbuat apapun. Pikiranku ke mana-manaㅡmeski sebenarnya aku tidak tahu apa yang sedang kupikirkan.

"Yena," panggil Kak Haechan yang tiba-tiba membuka pintu.

"Biasakan ketuk pintu, Kak," ucapku.

Kak Haechan duduk di sebelahku lalu menatapku.

"Jangan menatapku seperti itu. Aku jadi takut," kataku.

"Mama dan papa akan pulang sebentar lagi. Kamu gak ada rencana kasih tau mereka?"

"Kasih tau apa?"

"Apa yang kau lakukan selama ini."

"Kau gila, Kak? Aku tidak seberani itu."

"Mau sampai kapan? Bukannya kau bilang akan memberitahunya setelah kau berhenti? Kau sudah berhenti, kan?" tanya Kak Haechan.

Gambler; JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang