28

199 22 0
                                    

Yena's POV

Tepat sekali, dia ada di sekitar satu meter di depanku. Ia mengarahkan pistolnya tepat di dahiku.

DOR!

Aku menjatuhkan diriku sebelum tembakan itu mengenaiku. Aku segera mengambil kursi terdekatku lalu melemparkannya ke arahnya. Kursi itu mengenai tangannya. Setelah itu, aku melemparinya dengan kursi lainnya.

Aku terus melemparinya seperti orang gila. Aku sudah putus asa. Melempari kursi saja sudah sangat menguras tenagaku. Apalagi, aku hanya bisa memakai satu tangan.

Aku menoleh ke arah luka tembakku. Lengan kausku sudah dipenuhi dengan darah. Bahkan, darah itu sudah menetes ke lantai. Aku harus menahan pendarahannya. Tapi, aku tidak punya apa-apa. Rasa sakitnya juga masih sangat terasa.

Pembunuh itu pun menghampiriku ketika aku berhenti menyerang. Ia sangat dekat. Ia mengarahkan pistolnya ke dahiku lagi. Aku hanya bisa berdiri sambil menutup mataku.

Mungkin ini waktuku.

"Yena!"

Aku segera membuka mataku ketika mendengar suara yang sangat familiar.

DOR!

Ia mengubah targetnya ke arah Jeno. Namun, Jeno berhasil menghindarinya.

"Yena!" teriak Jeno saat melihat keadaanku.

Pembunuh itu langsung menarik tubuhku lalu menjadikanku sandera. Sekarang, pistol itu sudah menempel di pelipisku.

Jeno sudah dalam sikap siaga. Ia mengarahkan pistolnya ke arah pembunuh itu.

"Lepaskan dia," ucap Jeno.

Aku mulai berkeringat dingin. Aku tidak tahu bagaimana nasibku nantinya.

Mataku sudah sayu. Badanku juga makin lemas. Sepertinya ada sesuatu di bir tadi. Ditambah lagi dengan luka di lengan atasku. 

"Yena, tahan! Sadarlah!" teriak Jeno.

Aku berusaha membuka mataku. Namun, rasanya sangat berat.

"LEE YENA!" teriak Jeno.

Itu adalah teriakan Jeno terkencang yang pernah aku dengar selama aku kenal dengannya.

Aku langsung menyikut pembunuh itu. Jeno menggunakan kesempatan itu dengan menembak kakinya.

DOR!

Pembunuh itu hendak terjatuh. Namun, ia tetap berusaha untuk menjaga keseimbangannya hingga akhirnya ia terjatuh. Jeno segera menembak ke arah pistol miliknya.

DOR!

Pistol milik pembunuh itu terlempar cukup jauh. Meski aku tidak bisa berjalan dengan normal, aku segera berlari untuk mengambilnya.

Sekarang, aku menggenggam senjata itu.

Kali ini, situasi pun sudah dibalik.

Aku dan Jeno mengarahkan pistol ke arahnya. Pembunuh itu mengangkat kedua tangannya.

Beberapa saat kemudian, sekumpulan polisi masuk ke bar. Salah satu polisi di sana menghampiri pembunuh itu lalu membuka topengnya.

"Kau sudah terkepung. Silahkan ikut kami," ucap polisi itu.

Setelah itu, aku tersenyum lega.

BRUK!

"Yena!"

Itu adalah suara terakhir yang aku dengar.

***

Somi's POV

Gambler; JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang