15

239 29 0
                                    

Yena's POV

Aku dan Jeno terbaring di atas atap mobil yang cukup remuk. Aku baik-baik saja karena tangan Jeno melindungi kepalaku. Namun, aku tidak tahu keadaan Jeno. Ia tidak membuka matanya.

Aku berusaha menepuk pipi Jeno sambil berbisik. "Jeno, Jeno. Bangun."

Aku sangat panik. Aku segera menaruh jariku di bawah hidungnya. Ia masih bernapas. Aku agak lega setelah memastikannya.

Beberapa saat kemudian, Jeno membuka matanya. Aku tersenyum lega melihatnya.

Mark, perkataanmu benar. Sekarang, aku akan percaya pada Jeno.

***

"Apa kau terluka?" tanya Jeno.

"Tidak," jawabku. "Bagaimana denganmu?"

"Punggungku rada sakit. Tapi tidak masalah," jawabnya.

"Maaf," ucapku.

"Untuk apa?"

"Aku seharusnya ikut pulang denganmu," jawabku.

Sekarang kita berdua berada di rumah Mark. Jeno mengantarku dengan mobilnya.

"Apakah kau bisa menemaniku di sini?" tanyaku.

Jeno memandangku lama. "Baiklah."

"Terima kasih," ucapku. "Terima kasih untuk menolongku tadi."

"Tidak masalah," jawab Jeno.

"Maaf juga untuk selama ini," ucapku. "Aku selalu saja kasar padamu."

"Ah, soal itu? Aku tidak mempermasalahkannya. Lagipula, jika dipikir-pikir, aku juga tidak sopan kepadamu."

Aku mengangguki ucapan Jeno. "Jeno, bagaimana kau tahu jika aku ada di sana?"

"Klub itu adalah milik keluargaku. Kebetulan aku ada janji di sana. Tapi aku sempat melihatmu," jawab Jeno. "Aku sudah tahu bahwa kau diancam."

"Mark memberitahumu?" tanyaku.

"Iya. Karena itu, aku disuruh menjagamu," jawabnya. "Aku mengikutimu."

"Terima kasih," ucapku lagi.

"Apa kau tahu siapa yang mengancammu?" tanya Jeno.

"Jeon Somi," jawabku.

Jeno terkejut. "Jeon Somi?"

Aku mengangguk. "Ia sudah berkali-kali mencoba membunuhku di Kanada."

"Tapi kenapa kalian terlihat sangat dekat?" tanya Jeno.

"Karena kita sama-sama munafik." Aku tersenyum miring. "Aku dan Somi selalu berusaha ramah di depan. Padahal, kita membenci satu sama lain."

"Apa Somi juga tahu?"

"Entahlah," jawabku. "Dulu kita memang sempat berteman dekat. Makanya aku sangat kecewa saat tahu bahwa dirinya yang selama ini mengancamku."

"Kenapa Somi tega melakukannya?"

"Aku selalu menang darinya. Aku juga selalu menang dari pemain lainnya. Ia ingin menyingkirkanku. Ia ingin dirinya yang selalu menang," jawabku.

"Sejak kapan kau tahu bahwa Somi melakukannya?"

"Mungkin saat itu aku masih berumur lima belas tahun? Aku sempat menguping pembicaraannya. Saat itu aku dan Mark masih di Kanada."

"Itu sudah cukup lama," gumam Jeno.

"Tunggu sebentar, Jeno," ucapku lalu menunjuknya. "Kau bukan mata-mata Somi kan? Kau bukan bawahannya kan?"

"Konyol. Tidak mungkin," jawab Jeno.

"Aku jadi curiga denganmu." Aku menyipitkan mataku. "Tidak heran kau tahu di mana aku berada."

Jeno tertawa. "Sudah larut malam. Kau tidak tidur?"

"Kau sendiri? Bukankah kau besok sekolah?" tanyaku.

"Hei, kau juga sekolah," ucap Jeno.

"Aku tidak terlalu peduli dengan sekolah. Sekolah juga sudah tahu bahwa aku murid yang buruk," jawabku. "Tidak masalah jika aku bolos."

"Ya sudah. Besok kita bolos bersama," jawab Jeno.

Aku membulatkan mataku karena terkejut dengan perkataan Jeno. Melihat ekspresiku, Jeno malah tersenyum kepadaku. Ia bahkan menunjukkan eye smile-nya kepadaku.

Jeno menepuk sofa yang sekarang kita duduki. "Aku akan tidur di sini. Sana tidur, Yena. Good Night."

"Aku ambilkan selimut dulu." Aku pergi ke kamar Mark untuk mengambil bantal dan selimut lalu memberinya kepada Jeno.

***

Aku keluar dari kamarku. Aku berjalan ke ruang tamu dan mendapati bahwa Jeno masih tidur di sofa.

Aku melirik ke jam dinding. Sudah pukul delapan pagi. Kita berdua benar-benar bolos.

Aku pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Aku membuat jus apel dan roti selai.

Tiba-tiba Jeno menghampiriku dengan rambutnya yang masih berantakan.

"Perbaiki rambutmu," ucapku sambil tertawa.

Jeno langsung merapikan rambutnya lalu meminum jusnya. "Udah?"

"Udah," jawabku.

Jeno melihat jam dinding lalu menghela napas. "Kita bolos sekolah."

"Itu kan keinginanmu," jawabku.

"Apa yang harus kita lakukan hari ini? Jika hanya di dalam rumah pasti bosan," kata Jeno.

"Clubbing?" usulku.

"Kau mau ke klub di siang bolong?" tanya Jeno lalu mendecak.

"Ayo kita main kartu," ajakku.

"Apa? Uno?" tanya Jeno.

"Boleh," jawabku.

"Padahal aku hanya bercanda," ucap Jeno. "Aku kira kau mengajak berjudi."

"Tidak masalah jika uno. Aku hebat di semua permainan kartu," jawabku.

Jeno mengacak rambutku. "Jangan sombong dulu."

Aku merapikan rambutku. "Aku memang hebat. Lagipula aku harus mengurangi berjudi."

"Kenapa?" tanya Jeno.

"Itu tidak baik untuk masa depanku," jawabku.

"Tapi kan kau selalu menang."

"Itu dia." Aku memetik jariku. "Semakin aku menang, semakin nyawaku terancam."

"Jadi, kau mau berhenti?"

"Tidak sekarang. Mungkin nanti."

***

"Udah, Yena, udah. Aku gak mau main lagi," ucap Jeno lalu melempar kartu miliknya.

Aku tertawa sangat keras. Jeno sudah kalah di delapan ronde. Di ronde kali ini, aku berhasil menumpuk sampai +40. Jeno sudah menyerah duluan sebelum mengambil kartu sebanyak itu.

"Ayo main yang lain. Ayo main domino," ajak Jeno.

Aku mengambil kartu domino lalu menaruh di atas meja.

"Siapa dulu?" tanya Jeno.

"Terserah. Lagipula aku akan tetap menang," jawabku.

"Heh. Kau dan kesombonganmu itu," gumam Jeno.

Aku tersenyum mendengarnya. "Sepertinya kau sudah mati langkah lagi."

Jeno menutup wajahnya ketika kalah kesekian kalinya.

"Udah, Yena. Aku mau nonton TV aja," ucap Jeno lalu menyalakan TV.

Jeno memeriksa satu per satu channel. Namun, tangannya terhenti ketika ada berita tentang penembakan semalam. Aku yang menyadari itu langsung mematikan TV.

=========

Gambler ㅡ 15
12-07-2019

Gambler; JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang