Satu persatu tamu sudah pulang.
Tersisa keluarga besar Gus Fahmi dan Ana yang masih berkumpul di ruang tengah.
Petugas catering juga tampak tengah membereskan barang-barang mereka.
Ana duduk berdampingan dengan Gus Fahmi.
Nyai Sakdiyah memilih untuk duduk di samping Ana. Tangannya sejak tadi selalu menggenggam tangan Ana. Seolah tak ingin melepaskannya.
“Tugas kami sudah selesai. Sekarang tinggal tugas Fahmi. Ingat! Bacaan surat Ar-Rahmannya harus diselesaikan dulu! Jangan langsung menyentuh Ana sebelum maharnya ditunaikan!” Kyai Ramdan terkekeh, disambut tawa yang lainnya.
Gus Fahmi menundukkan wajahnya, menutupi senyum malu dan wajah yang memerah.
“Nanti, dijelaskan juga, kenapa pengantinnya sampai tertukar!” Kali ini Gus Azmi yang mencoba untuk menggoda Gus Fahmi.
“Iya betul, wajah Ana saja masih shock begitu!” timpal Ning Syila yang disambut dengan gelak tawa lagi.
“Maafkan, Bunda, Nak! Bunda tidak bisa bilang karena permintaan Pak Kyai!” Bunda mencari alasan karena mendapat tatapan tak enak dari Ana.
Bagus ikut tertawa melihat ekspresi Ana. Ekspresi seperti itulah yang terkadang selalu dirindukan dari sosok Ana.
“Sudah, kalau begitu kita pulang saja! Kasihan Fahmi kalau terlalu malam menunaikan maharnya!”
Kyai Ramdan bangkit dari duduknya lebih dulu. Diikuti yang lain. Nyai Sakdiah kembali memeluk Ana sebelum pergi. Lanjut memeluk Gus Fahmi sambil mengusap bahunya berkali-kali.
Ning Syila tersenyum, ia memeluk Ana haru. Lalu mengenggam tangan Ana setelah melepas pelukannya.
“Maafkan aku, karena sudah merahasiakan ini. Tapi percayalah, tidak ada maksud untuk membuatmu merasa dipermainkan.
Semuanya serba tiba-tiba. Tagihlah cerita pada Fahmi. Jika dia tidak bisa bercerita, maka kamu harus datang menemuiku!”Ana tersenyum. Matanya berkaca-kaca.
Ning Aisy mendekat, lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kado mungil berwarna biru.
“Selamat atas pernikahanmu, An!” ujarnya seraya menyodorkan kadonya.
Ana menerimanya dengan senyuman.
Nyai Halimah tersenyum menatap Ana. Ia langsung memeluk Ana sebelum Ana sempat mencium tangannya.
“Walaupun kamu ndak jadi menikah dengan Azmi, kamu tetaplah menantuku. Karena Fahmi juga sudah aku anggap seperti anakku. Jadi jangan sungkan untuk berkunjung ke rumah ya, Nduk!” tulus, Nyai Halimah mengelus punggung Ana.
Ana menggigit bibirnya, membiarkan air mata kembali menganak sungai di pipinya.
Gus Azmi mengatupkan dua tangannya di depan dadanya. Ia tersenyum melihat cincinnya yang masih tersemat di jari manis Ana.
“Selamat Ana! Semoga kalian selalu berbahagia. Aku tunggu kunjungan kalian di pesantren!”
Ana juga mengatupkan tangan di depan dadanya. Sebenarnya, ada banyak hal juga yang ingin ia katakana pada Gus Azmi. Namun, di depan keluarganya, rasanya tidak mungkin.
Budhe Ajeng dan Ayah Bagus lanjut menyalami Ana. Begitu juga dengan Bagus yang tak henti menatap Ana.“Ana, bahagia?” tanyanya saat sudah di depan Ana.
Ana tersenyum.
“Harus bahagia, ya!” Bagus menegaskan.
“Insyaallah bahagia!” jawab Gus Fahmi disertai dengan tepukan di lengan Bagus. Senyum Bagus makin lebar saat ia menyalami Gus Fahmi sebelum pamit pulang.
Gus Fahmi dan keluarga Ana mengantar tamunya hingga ke depan. Sementara Ana, sudah diboyong naik ke kamarnya oleh Lina, untuk membersihkan riasan yang dikenakannya.
“Aku bantu buka hiasan di kepala kamu saja ya, An! Habis itu, aku langsung pulang. Takut kemaleman,” ujar Lina.
Ana mengangguk sambil mengucap terima kasih.
Ekhem tes ombak.
Pada nunggu kan?
Start 230819

KAMU SEDANG MEMBACA
MAAF༊*·˚ [END]
Ficção Adolescente[SQUEL OF CINDERELLA PESANTREN] [SUDAH DI TERBITKAN] "Bagaimana jika bukan dia yang merebutnya dariku? Melainkan aku yang merebutnya? Karena sejak awal, memang dialah yang diharapkan berjodoh dengan Kak Fahmi." -Ana. . "Jika islam tidak mengharamkan...