Aku marah itu wajar, karna kamu gak akan tau, seberapa aku takut kehilangan kamu.
"Kamu lagi sibuk, yang." Tanya seseorang di sebrang sana. Lebih tepatnya Aldi yang sedang menelfon pacarnya.
"Enggak. Kenapa emang."
"Aku lagi longgar nih. Kamu bisa ke kafe tempat kita biasa makan siang. Aku kangen kayaknya deh." Jujur Aldi berbohong. Entah apa dan bagaimana. Perasaannya terus saja gelisah setelah beberapa lamanya dia hidup dan bersanding dengan Salsha. Kekasihnya
Masalahnya hanya sepele. Mantan sahabatnya. Namun jika di pikir pikir. Tak ada sama sekali sahabat yang raib menjadi mantan sahabat.
Aldi mendengar erangan ragu dari Salsha. Sepertinya permintaannya tadi sedikit mengusik tugas kekasihnya.
"Gak papa kok kalo semisal kamu lagi sib--"
"Apaan si kamu. Aku pusing mikirin kerja kalo aku gak refresing. Ayok, kita sama jalan jalan aja."
Senyum tumpul Aldi pancarkan. "Aku jemput kamu ya. Aku gak mau ada apa apa."
"Gak usah lebay sayang. Kalo aku di jemput malah aku makin lama nunggu kamu. Kita ketemuaan 15 menit lagi. See sayang."
Sambungan terputus sepihak dari Salsha.
Aldi kembali menancap gas pergi ke kafe biasa. Ia sedikit menunggu. Mencari dimana keberadaan kekasihnya itu. Ia memainkan jarinya pada meja.
Kembali mengecek ponselnya dan Aldi lakukan berulang kali hingga ia merasa benar benar jenuh dan bosan.
"Maaf sayang aku telat jalan dari kantor aku macet parah." Begitu tuturnya. Aldi hanya menanggapinya senyum. Namun senyum cerahnya luntur berganti dengan kemasaman.
Tatapan tajam ia perlihatkan. Ia melihat siapa saja yang melihat pada arah pandangnya. Kekasihnya menjadi pusat perhatian kafe ini. Lagi lagi Salsha hanya bisa memberi kenyamanan pada Aldi dengan meremas lembut jemarinya.
"Biarin aja. Kamu enggak usah kepancing emosi. Nanti unjung ujungnya kamu bakal cape sendiri malahan." Ucap Salsha menasehati. Ada rasa risih memang. Namun kenyataannya yang tak membuat sepasang kekasih ini kembali risih.
Makannya sangat lezat dengan kurun yang lumayan. Namun itu bukanlah hal besar untuk keduanya.
"Gimana sama skripsi kamu yang?"
"Pusing." Jawab Salsha singkat. Ia sangat malas dengan skripsinya yang selalu di tolak dengan coretan tinta tak beraturan.
Aldi tertawa singkat. "Jangan pesimis dong. Semua juga butuh proses. Dapet gelar seperti aku bahkan lebih pusing. Tapi nyatanya. Berkat kamu aku bisa ngelewatin itu semua."
Salsha kembali mengingat bagaimananya frustasinya Aldi dengan skripsinya yang sangat membuat kekasihnya drop hingga harus di rawat inap 3 hari. Ia memandang nanar saat melihat Aldi dengan selang infus, selang oksigen, dengan wajah pucat dan berbaring lemas.
Namun saat Salsha selalu mendukungnya, selalu yakin akan keberhasilannya. Aldi bahkan kembali sehat dan lulus dengan nilai tertinggi dengan segala predikatnya. Mau tak mau Salsha juga harus sepertinya. Karna itu juga keinginannya. Dengan otak dan pikiran Aldi yang selalu di atasnya satu tahun sudah membuktikan jika Salsha akan bisa di tahun berikutnya.
"Yang."
"Apa." Jawab Aldi sangat lembut. Ia kembali malanjutkan memakan pesanannya. Ia juga sigap dengan memesankan makanan untuk Salsha.
"Kamu inget kota Bandung?"
Aldi memberhentikan kunyahannya. Ada apa lagi dengan kota Bandung. Batin Aldi. Ia mendongakkan kepalanya menatap Salsha penuh intens. Dari mulai puncak kepalanya sampai semuanya.
Hingga melihat ada kalung baru yang bertengger manis di leher kekasihnya. Kapan ia membelikan barang itu. Dan kenapa Salsha tak memberitahukan sesuatu jika ia membeli barang seperti itu.
"Kamu beli kalung baru?" Tanya Aldi melihat kalung yang kekasihnya pakai tanpa memberitahu perihal itu.
Salsha memandang Aldi cengo. Bukankah dia yang membelikannya. Salsha membatin. Jadi siapa yang mengirimkan ini sebenarnya.
"Ini bukan paket dari kamu."
"Paket gimana. Aku gak ngirim paket apapun sama kamu." Bantah Aldi mulai sedikit curiga.
Apa Salsha telah main api di belakang hubungannya. Jarinya tampak memutih mengeras melihat hal itu. Ia mengepalkan tangannya.
"Kamu main api di belakang aku." Ucap Aldi datar. Terdengar sangat dingin pada telinga Salsha.
"Aku enggak kaya gituan Aldi."
"Jangan marah sebelum aku cerita okey. Aku tadi itu mau ngasih tahu kamu dulu sebelum kamu tiba tiba marah gak jelas segala nuduh aku." Salsha mencebikan bibir yang Aldi yakini manis itu. Dengan cepat Aldi merubah raut wajahnya.
Semua ketakutannya memang terlalu mengada ada.
"Ada apa dengan kota Bandung?" Tanya Aldi kembali melembut dan menggenggam tangan kanan Salsha.
"Ada paket dari Bandung tadi pagi ke kantor aku. Dan isi paketnya salah satu darinya itu ini." Seraya menunjuk kalung yang sedang ia pakai.
"Punya kamu mana?" Tanya Salsha melihat leher Aldi. Namun semuanya sirna dengan tatapan marah Aldi.
"Buang kalung itu."
"Apa?" Pendengaran Salsha kembali membeo. Perkataan Aldi tadi bukan hanya perkataan biasa. Terdengar seperti sebuah perintah.
"Bukannya ini kalung dari kamu. Kenapa kamu suruh buang. Say--"
"Buang kalung itu atau aku yang bakal narik kalung yang kamu pake sampe putus." Apalagi ini. Aldi kembali marah dengan segala keanehannya.
"Iya iya." Jawab Salsha seraya melepas kalung yang ia pakai.
"Buang semua paket tadi. Dan jangan asal nerima paket kalo aku gak ada. Kalopun paket itu dateng lagi. Aku yang bakal buka paket itu."
"Kamu kenapa si yang. Kok jadi begini." Protes Salsha tak terima. Emosi pria dewasa memang sangat aneh.
"Kita pulang."
10/09/2018
Thanks yang udah mau vote ulang, dan selamat datang buat yang baru dapet cerita ini :)
KAMU SEDANG MEMBACA
2ND LOVE [END]
Teen FictionBLURB, PART 1 SAMPAI PART 50 LIMIT COMFORT. Menjalani hubungan dari masa SMA sampai keduanya memegang saham dan menjadi penerus keluarga, hingga masa sulit perkuliahan membuat keduanya semakin dekat. Tidak ada keinginan berpaling, melepaskan, atau b...