Bolehkah aku menyampaikan rasa tentang hati yang menangis saat pengisi tempatnya berdalih?
***
"Mike!!" (Namakamu) tersenyum mengembang saat melihat laki-laki itu di depan gedung Apartemen. "Tunggu."
(Namakamu) benar-benar nekat. Saat setelah Hanif memberikan alamat Apartemen Mike. Pagi buta sekali Ia sudah pergi dari hotel tanpa memberitahu Iqbaal sama sekali.
"Hai. Morning," sapa Mike tersenyum. "Aku nungguin kamu dari tadi."
(Namakamu) masuk ke pelukan Mike. "I miss you so much."
"I miss you so so much!" Mike melepas pelukan. "Oh ya, suami kamu?"
"Dia gak akan tahu karena aku kesini gak bilang sama dia."
Mike terkekeh. "Harus izin dulu atuh kalo mau keluar sama suami."
"Gak lucu sumpah."
"Ya udah masuk yuk?" Ajak Mike.
"Gak. Duduk di kursi sana kayaknya bagus," saran (Namakamu). "Bosen diem di rumah terus."
"Ayuk." Mike merangkulnya dan membawanya duduk di kursi taman. "Jujur ya, aku masih bingung sama orang yang punya uang banyak."
"Kenapa?"
"Coba deh pikir. Dari banyaknya perempuan di dunia kenapa mereka milih kamu? Seorang mahasiswa yang sedang sibuk berjuang demi masa depannya. Kenapa gak nyari yang udah kerja maybe atau yang lebih pengalaman. Kenapa harus ngerebut punya aku."
(Namakamu) menghela napas. "Mike udah."
"Jujur dapetin kamu susah loh. Itu sebabnya kenapa sampai sekarang aku belum bisa bilang putus ke kamu."
"Jadi kamu mau kita putus?"
"Aku belum tahu."
"Mike aku sayang banget sama kamu. Biarpun Mama aku gak setuju. Meskipun aku udah nikah. Aku bisa cerai."
Mike menelan ludahnya. "Jangan. Jangan bikin orang tua kamu kecewa. Aku menghargai keputusan Mama kamu karena aku mengharga dia."
"Tapi dia udah ngehancurin hubungan kita Mike. Kamu cuma bisa pasrah gitu aja? Lima tahun Mike. Lima tahun bukan waktu yang singkat buat kita saling cinta. Kamu ngejaga aku, sayang sama aku, tulus. Itu gak akan bisa aku dapetin dari orang lain."