Kalo prihal mencintai, aku maju paling depan.
tapi
Kalo urusan menuruti semua kemauan kamu, aku maju sampai sejajar sama kamu.***
"Nah ini untuk kalian berdua," kata Herry menyodorkan dua kartu persegi panjang di atas meja makan.
Akhirnya Rike berhasil mewujudkan cita-citanya double date bersama anaknya di salah satu Restaurant Korea di Jakarta. Mereka sudah selesai menikmati hidangannya. Tepat di lantai atas, pemandangan jalanan berhasil membuatnya betah berlama-lama di sini. Selain itu, mereka berdua ingin memberikan kado spesial untuk menantu dan anaknya itu.
"Tiket pesawat?" Tanya (Namakamu). "Untuk apa?"
Hery terkekeh. "Untuk kalian berdua liburan. Anggap aja ini kado dari Ayah sama Bunda."
Iqbaal menatapnya tanpa berkedip. Bagaimana mungkin?
"Liburan?" Tanyanya masih bingung.
"Iya. Entah kalian mau honeymoon, liburan, foto-foto, belanja, terserah. Ini Ayah serahkan buat kalian."
"Gimana kamu seneng?" Tanya Rike penuh harap.
(Namakamu) mengangguk lemah.
"Jangan di pikirin. Kalau belum siap kita perginya di undur aja pas kamu udah siap," seru Iqbaal. "Percuma kan berangkat kalo gak nikmatinya."
Rike terkekeh dan menggeleng. "Ya sudah. Kamu simpan ya? Kapanpun kamu siap. Bunda bantuin packing packing."
"Jujur Bunda. Aku belum kepikiran soal honeymoon dan sebagainya. Termasuk yang diinginkan mertua untuk mendapatkan cucu. Punya anak? Dari segi mental aku belum siap. Kuliah aku juga belum selesai. Jadi, aku mohon kalian berdua ngerti ya?"
Iqbaal menoleh.
"Aku juga baru kenal sama Mas Iqbaal. Belum tahu bagaimana sifat dan lainnya. Di tambah masa lalu yang aku belum sempat tahu." (Namakamu) menjadi kalimatnya. Ia berhasil menghentikan itu sebelum mulutnya berbicara masalah Bella si sekretaris Iqbaal itu. Bukannya (Namakamu) cemburu, tetapi jika Iqbaal melarangnya untuk melakukan interasi dengan lawan jenis. (Namakamu) berhak melakukan itu kepada Iqbaal. Jadi impas, tidak menyudutkan siapapun. Namun niatnya di tahan untuk memangkas obrolan itu.
"Loh." Rike menggeser duduknya. Mengusap lengan menantunya. "Kamu sama Iqbaal udah menikah. Setiap hari satu persatu sifat kalian berdua akan kelihatan dan mengenalnya. Waktu Bunda ke Ayah juga gitu. Sampai akhirnya sekarang punya anak dan Bunda happy. Kebahagiaan itu di ciptakan bareng-bareng. Jadi bukan Iqbaal atau kamu sendiri-sendiri tapi berdua."
"Begini. Ayah tahu sekali apa yang kamu rasakan. Ada sesuatu yang mengganjal. Masa lalu yang belum selesai atau mungkin sebaliknya Iqbaal juga seperti itu masih ada ikatan masa lalu yang bikin kalian overthinking. Kalian harus bicarain dan selesaikan itu. Karena kalian udah menikah. Masa lalu untuk di tinggalkan. Sekarang masa depan kalian sudah ada di depan mata," imbuh Hery.
"Gini aja deh. Besok kalian berangkat tanpa penolakan," tegas Hery. "Kalian butuh ruang buat saling kenal lebih dalam lagi."
"Hah?" (Namakamu) menganga tak percaya. Lalu menatap Iqbaal. Laki-laki itu lebih santai darinya. Menatap santai ke kedua orang tua lalu selanjutnya melihatnya penuh harap. "Besok?"
Hery mengangguk. "Masih ada waktu packing dan izin kampus. Untuk Iqbaal, kerjaan kamu Ayah yang handle."
"Apa gak kecepetan Yah?" Tanya Rike.