prt3• Ketiga

11.6K 655 13
                                    

Kau boleh lelah tapi
jangan terlalu lelah.

***

Iqbaal mengucek matanya yang terasa gatal. Menatap layar komputer membuat matanya terasa sangat lelah. Tidak di kantor. Namun sampai rumah Iqbaal juga harus berkutik di ruang kerjanya seperti tidak ada hari esok untuk dikerjakan.

Masih dengan baju kerja tadi pagi. Tetapi kini lebih acak, kancing yang terbuka, lengan terlipat dan rambut berantakan yang tidak bisa di pungkiri keadaannya jauh seperti orang gila di jalanan.

"Iqbaal?"

Seketika Iqbaal menoleh ke ambang pintu. Perempuan paruh baya dengan hijab warna moca kini berdiri di sana. Membawa nampan berisi gelas. Rike sudah pasti tidak pernah absen membawakan segelas kopi dan cemilan untuk putranya.

"Hai Bunda," sapa Iqbaal. "Alvaro sama Arvin udah tidur?"

Rike mengangguk dan meletakkan camilan di atas meja.

"Setelah selesai makan malam sama Bunda barunya mereka langsung tidur," katanya terkekeh. "Lucu ya mereka langsung bisa nyaman sama (Namakamu)."

Iqbaal mengangguk. "Syukurlah Bun."

"Kamu lagi ngerjain apa sih? Udah hampir jam sebelas malam kamu ninggalin (Namakamu) sendirian?"

"Materi untuk besok ketemuan sama klient gantiin Ayah. Katanya Ayah harus berangkat ke Surabaya," kata Iqbaal. "Soal (Namakamu), tadi aku udah minta izin kok Bun."

Rike mengangguk.

"Oh ya. Aku sampek lupa. Mama Risma udah pulang ya?" Tanya Iqbaal khawatir dengan Mama mertuanya. Karena semenjak menginjakkan kaki di rumah tadi sore Iqbaal tidak bertemu dengannya.

"Ya sudah. Tadi Ayah mertua kamu yang jemput. Katanya gak nungguin kalian. Mungkin udah si (Namakamu) yang di kasih kabarnya Baal."

Iqbaal mengangguk paham. Di matikannya komputer itu karena pekerjaan sudah selesai. Ia menoleh ke arah Rike yang masih berdiam menatapnya. "Kenapa Bun?"

"Ah enggak." Rike sadar, "kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke Bunda ya?" Seolah mengerti.

"Soal (Namakamu)." Iqbaal menggantungkan kalimatnya sebelum akhirnya duduk dengan posisi berhadapan dengan Rike. Sepertinya serius.

"(Namakamu) belum pernah bisa bangun pagi buta kaya Bunda. Belum pernah masak sendiri. Jadi aku mohon kalo misalnya istri Iqbaal buat salah kasih tahunya ke Iqbaal. Isyaallah, Iqbaal bisa kasih tahu (Namakamu) pelan - pelan."

Rike terkekeh. "Hey Iqbaal? Kamu ngomong apa? (Namakamu) itu menantu Bunda. Jadi, gak harus seperti yang kamu pikirkan. Yang penting ingat kewajiban dan keluarga aja Bunda udah syukur banget."

Obrolan itu semakin panjang entah sampai mana. Hingga tetesan terakhir kopi Iqbaal. Rike meminta putranya segera menyusul istrinya yang sendirian di kamar.

***

Iqbaal meletakkan handuk di jemuran sebelah kamar mandi. Lalu melirik ke arah istrinya yang masih sibuk dengan beberapa tumpukan buku dan laptop yang menyala. Iqbaal pikir istrinya sudah tidur mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

"Ada yang bisa aku bantu?" Tanya Iqbaal yang sudah duduk di kursi kayu sebelah (Namakamu).

"Tolong ambilin minum," katanya tanpa menoleh. Memberikan tumblernya. "Heh."

"Sorry. Saya pikir tadi Bi Ratih," katanya gelagapan. "Biar Saya ambil sendiri." Masak suara suami sendiri Ia tak mengenalinya.

Little WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang